Minggu, 14 Maret 2010

NARKOBA & REMAJA

Narkoba & Remaja

PENDAHULUAN
Meski telah dikeluarkan UU No.5/1997 tentang Psikotropika dan UU. No. 22/1997 tentang Narkotika, yang didalamnya telah termuat secara jelas sanksi maksimal yakni, tuntutan hukuman mati bagi para pengedarnya, namun bisnis haram yang skalanya dari data tercatat mencapai Rp.325 milyar perhari dengan pecandu sekitar 6,5 juta rakyat Indonesia ini tak menunjukkan tanda-tanda surut; bahkan kian marak. Dari segi kesehatan, narkoba dipandang sebagai penyakit endemik dalam masyarakat, suatu penyakit kronis yang berulangkali kambuh. Angka kekambuhan terhadap narkoba untuk skala Indonesia, menurut Depkes Kanwil Jawa Barat masih tinggi yakni 43,9%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa resiko kematian akibat mencandu narkoba diakibatkan karena kerusakan fungsi fisik (17,17%), kelainan paru-paru (93,67%), kelainan fungsi hati (55,10%) dan hepatitis C (56,56%) (Pikiran Rakyat, 27 Desember 1999).Resiko kematian yang lain akibat mengkonsumsi narkoba ini adalah overdosis dan keracunan.
Mengutip keterangan FKUI/RSCM dari Instalasi Gawat Darurat yang banyak menangani kasus demikian, diperoleh data bahwa overdosis dan keracunan jenis opiat (putauw, heroin,morfin) mulai meningkat sejak tahun 1998. Dilaporkan pula bahwa 62 dari 118 kasus keracunan yang ditangani selama tahun 1998 disebabkan oleh ekstasi dan opium. Tahun 1999 meningkat drastis bahwa hampir semua keracunan sebesar 203 kasus disebabkan karena narkoba dengan prosentase 82% akibat putauw dan sisanya shabu-shabu.(Kompas, 11 Maret 2001).
Peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut tampaknya mulai memiliki kecenderungan yang meningkat, baik dari sisi pemakai maupun sisi jalur perdagangan. Jika kasus-kasus sebelumnya lebih banyak ditemukan di kawasan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya maka kasus-kasus yang ditemukan aparat akhir-akhir ini tidaklah demikian. Untuk kawasan Jawa Barat dan DKI, daerah pinggiran atau kota transisi seperti Ciamis, Cianjur, Cipanas, Tanggerang, Serang, Indramayu terlihat mulai banyak ditemukan kasus serupa yang bersifat akumulatif. Demikian pula dengan karakteristik pemakai atau pecandu, tidaklah lagi berkisar pada kelompok elite seperti kaum selebritis dan sejumlah pengusaha muda, melainkan telah merasuk pula pada lingkup sekolah dan perguruan tinggi.Sebagai indikator maraknya pemakaian narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah data yang berhasil dihimpun dari Kejari Bandung. Berdasarkan data tersebut, jumlah kasus narkotik dan psikotropika yang masuk ke Kejari Bandung naik sekitar 200% atau 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu Kajari Bandung, H. Marwan Effendy, SH, MM memutuskan untuk tidak lagi memberi toleransi kepada para pelajar dan mahasiswa dalam menerapkan tuntutan hukum untuk kasus narkoba.
Sementara itu untuk kasus para pengedar narkoba jenis pil setan selain mahasiswa, juga ditemukan para pegawai baik di lingkup instansi kepemerintahan maupun swasta. Hasil temuan lain dari Tim Pokja Depdiknas menyatakan bahwa 70% dari 4 juta pecandu narkoba di Indonesia adalah siswa yang tercatat sebagai anak usia sekolah antara 15-20 tahun. Selain itu, berita dari Pokja Depdiknas Kanwil Jakarta, juga menyatakan bahwa 1015 siswa SMU di Jakarta terlibat narkoba dan 315 diantaranya terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena harus menjalani program rehabilitasi untuk menyelamatkan jiwanya. (Media Indonesia, 11 Februari dan 5 Agustus 2000).Berdasar data dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) per Februari 1999, Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas menyatakan bahwa anak muda dikalangan pelajar dan mahasiswa yang menjadi pemadat di Jakarta adalah sekitar 10 kali lipat dari ambang batas WHO; dengan perincian 1055 siswa SLTP, 2096 siswa SLTA dan 1596 mahasiswa. Selain itu, Ketua Nasional Drug Abuse Prevention Center (NDPC) Jesse Monintjo juga menyatakan keprihatinannya bahwa penderita narkoba di Jakarta meningkat sampai 100% lebih dengan mensinyalir bahwa anak muda yang menjadi pemadat terbesar berada di kalangan usia 15-27 tahun (Media Indonesia, 4 September 1999 dan 11 Februari 2000).Keprihatinan senada juga tampak dari sejumlah tokoh pendidikan dan pejabat instansi pemerintahan yang membidangi generasi muda ketika mengomentari temuan Tim Pokja Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba (P3N) yang dibentuk Direktorat Pembinaan Kesiswaan Ditjen Dikdasmen.
Dari temuan tersebut terungkap bahwa komposisi keterlibatan siswa dalam bentuk persentase dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut 1995 (80%), 1996 (75,76%), 1997 (65,58%), 1998 (66,51%). Dibandingkan dengan data RSKO maka tercatat bahwa telah terjadi lonjakan pasien yang signifikan; yakni 1995 (2958 pasien), 1996 (2190 pasien), 1997 (3307 pasien) dan 1998 (5741 pasien). Sebagian terbesar pasien RSKO adalah penderita dari kalangan siswa (SD, SMP dan SMA) dengan jumlah 92% dari keseluruhan penderita yang dirawat di RSKO Jakarta. Dari data tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa keterlibatan siswa dalam kasus narkoba rata-rata menyebabkan siswa (SD, SMP dan SMA) itu sendiri menjadi seorang pemadat yang perlu menjalani perawatan medis dan rehabilitasi.
Dari data-data aktual pada umumnya mass media diperoleh gambaran bahwa rata-rata kalangan muda di usia antara 15 – 24 tahun ternyata lebih banyak terlibat dalam kasus narkoba. Jika PBB (UNO) mengkategorikan usia 15 – 24 tahun sebagai remaja, maka yang termasuk anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 15 tahun. Tetapi menyimak UU No.1/2000 yang merupakan ratifikasi Konvensi ILO No.182 mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, memasukkan batasan anak di bawah usia 18 tahun sebagai kelompok sasaran. Lagi pula, dalam UU No.1/2000 tersebut dinyatakan bahwa keterlibatan anak dalam produksi, pengedaran dan pengiriman narkoba termasuk dalam jenis pekerjaan yang paling buruk, sehingga harus segera dicegah.Dari penjabaran data-data tersebut di atas, dapat diyakini bahwa hampir seluruh kasus narkoba menunjukkan adanya korban ketergantungan akibat kecanduan yang rata-rata menimpa kalangan muda dari usia sekolah (SD-PT; 15-25 tahun).
Diyakini pula, bahwa ketergantungan mereka terhadap narkoba merupakan sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Masa transisi untuk menjadi dewasa adalah sebuah tantangan bagi anak atau remaja beserta orangtua secara bersama-sama. Dalam masa ini, mereka terdorong akan mencoba sesuatu yang baru guna memantapkan perubahan dalam pribadinya dan sekaligus menunjukkan transisi peran yang harus ditunjukkan dalam sebuah keluarga.
Lingkungan intern keluarga, sosialisasi dan pendidikan di keluarga, pergaulan sosial dengan kelompok sebaya dan orang dewasa di sekitarnya serta lingkungan belajar sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif dan akomodatif bagi anak. Banyaknya anak yang kemudian ‘salah jalan’, diyakini karena lingkungan intern keluarga bersangkutan mengalami degradasi fungsi. Keluarga sebagai pranata sosial yang paling utama dalam pembinaan dan pengembangan kapasitas pribadi anak, tidak lagi berfungsi dalam menjalankan peran dan fungsi normatif keluarga sebagaimana mestinya.
Degradasi fungsi keluarga umumnya terjadi karena alasan ekonomi, yakni orangtua terlalu banyak bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya sehingga kekurangan waktu untuk memperhatikan aspek emosi dan afeksi. Padahal kedua aspek demikian tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek pemenuhan kebutuhan hidup secara fisiologis dan biologis dalam membantu anak atau remaja mencapai perkembangan yang sehat. Kenyataan seperti ini bisa terjadi untuk semua lapisan dan kelas masyarakat manapun.Kasus penyalahgunaan narkoba yang dapat mengakibatkan terjadinya ketergantungan dan kecanduan dari seorang anak dan remaja, diyakini sedikit banyak dilatarbelakangi oleh terjadinya degradasi fungsi keluarga semacam itu. Adanya aktivitas dari jaringan narkoba untuk melakukan penetrasi terhadap anak remaja dalam usaha mengikat mereka dalam ketergantungan narkoba dan mencandu diyakini lebih bersifat oportunistik dan dipandang sebagai trigger, jika kebetulan ada aspek kelemahan fungsi keluarga yang membuka peluang terjadinya hal itu. Bila peluang itu membuka kesempatan yang kian membesar secara bersamaan dengan aktivitas pengedar narkoba, diyakini seorang anak remaja relatif mudah terperangkap dalam jaringan tersebut.
Sebaliknya, jika peluang itu sangat kecil memberi kesempatan pada masuknya aktivitas pengedar, maka diyakini pula bahwa anak remaja relatif tidak akan mudah terlibat dalam kasus narkoba. Keterikatan keluarga (attachment), termasuk di dalamnya orangtua, orang dewasa dan kelompok sebaya yang sangat kuat secara kognitif, afektif dan konatif, diyakini mampu membendung anasir-anasir merugikan yang datang dari lingkungan sekitarnya.


ASUMSI PEMIKIRAN
1. Pencandu narkoba adalah anak yang berada pada tahap perkembangan transisi menuju masa dewasa.
2. Penyalahgunaan narkoba oleh anak remaja adalah masalah sosial dan ketergantungan narkoba dikarenakan kemampuan sosialisasi yang lemah, sehingga setiap kali anak menghadapi masalah dalam mencapai tugas perkembangan selanjutnya ia cenderung mengatasinya dengan obat-obatan.
3. Kecanduan narkoba identik dengan ketergantungan obat dan akar permasalahan tersebut ternyata tidak semata-mata problematis kejiwaan namun juga menunjukkan kontribusi peran lingkungan sosial; khususnya fungsi keluarga.
4. Pecandu narkoba dapat direduksi ketergantungannya melalui intervensi variabel-variabel sosial, terutama mengoptimalisasikan fungsi keluarga.
5. Kepribadian pecandu narkoba dapat direkayasa kembali dengan menelusuri pencapaian tahap-tahap perkembangan dalam membentuk identitas melalui penguatan variabel sosial dalam fungsi keluarga.

DEFINISI NARKOBA
Narkoba atau narkotik dan obat-obat terlarang merupakan istilah populer dari NAPZA yakni Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkotika merupakan istilah populer dari opium atau putauw yang menunjukkan pada pengertian obat-obatan pembunuh atau pengurang rasa sakit atau nyeri yang terbuat dari bahan-bahan opium seperti heroin, morfin, paregoric dan codein. Bahan dasar pembuatan narkotika adalah sejumlah jenis tanaman ganja. Penggunaan obat golongan sangat keras terbatas ini efektif digunakan untuk tujuan medis atas otoritas dokter secara resmi (legal). Heroin dan morfin digunakan untuk membangkitkan efek reaksi emosional dalam mengurangi rasa tegang atau ketegangan fisiologis, rasa mudah takut dan mengurangi kegelisahan. Sejak narkotik diketahui sangat berhubungan erat dengan terjadinya tindakan beringas, kejam, sadis dan kekerasan maka penggunaannya kemudian diatur secara hukum melalui UU No. 22/1997 tentang Narkotika.
Sementara itu, alkohol merupakan substansi alami hasil dari fermentasi yang penggunaannya serupa dengan obat-obatan yang bersifat anti-depresan. Alkohol ini memberi efek memabukkan yakni suatu kondisi fisik dan mental yang tidak seimbang dalam koordinasi psikomotorik (inkompetensi). Efek fisiologis yang ditimbulkan alkohol adalah pandangan menjadi terganggu, mekanisme persepsi kedalaman menjadi berubah, reaksi pupil mata menjadi lebih lamban dalam merespon sinar, tekanan suara menjadi berat, kekacauan fungsi koordinasi, kemampuan memecahkan masalah menjadi berkurang, emosi dan suasana hati menjadi tak terduga, kemampuan mengingat berkurang, pengetahuan menjadi berkurang dan tidak terstruktur, kemampuan menyerap informasi menjadi terganggu sehingga dalam memutuskan sesuatu tampak kacau. Psikotropika menunjukkan pengertian obat-obatan yang digunakan untuk merangsang susunan saraf pusat yang dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan, aktivitas dan mempercepat proses-proses fisiologis. Obat jenis ini dalam terminologi medis lazim disebut sebagai stimulant, mencakup didalamnya amphetamines, kokain, kafein dan nikotin. Terkecuali kokain, obat jenis ini legal, mudah diperoleh dan relatif tidak mahal. Sebelum diketahui akibat salah penggunaan kokain, semua obat jenis ini tak perlu resep dokter. Namun setelah dinyatakan oleh otoritas hukum bahwa kokain sangat berhubungan erat dengan peningkatan terjadinya kriminal maka pemakaiannya dikontrol melalui mekanisme hukum; salah satunya adalah dengan UU. No.5/1997 tentang Psikotropika.
Oleh karena itu istilah psikotropika sangat erat kaitannya untuk menunjukkan aturan hukum dalam penggunaan kokain yakni jenis amphetamin. Istilah populer amphetamin adalah shabu-shabu. Golongan amphetamin adalah benzedrine (bennies), dexederine (dexies), methedrine (meth atau crystal) dan dexamine (kombinasi amphetamin dengan obat bius tidur). Efek stimulan demikian adalah peningkatan tingkat kewaspadaan yang berlebihan, sangat aktif berbicara namun cenderung tidak terkontrol, merasa memperoleh tambahan daya kekuatan yang sangat besar serta merasa begitu nyaman dan aman dengan dirinya.Zat adiktif merupakan terminologi untuk menunjukkan penggunaan zat-zat obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga seringkali memberikan efek psikologis yang membahayakan jiwa. Menurut WHO penyalahgunaan zat adiktif dinyatakan sebagai suatu kondisi yang memabukkan secara periodik dan kronis dan merusak kehidupan individu ataupun masyarakat jika penyalahgunaan tersebut merupakan pola konsumsi secara berulangkali dan bersifat menetap.
Karakteristik penyalahgunaan zat adiktif ini:
a. Terbentuknya keinginan yang begitu kuat dan berlebihan dan bersifat kompulsif untuk melanjutkan pemakaian zat obat tersebut tanpa tujuan yang dibenarkan.
b. Ada kecenderungan untuk meningkatkan dosis pemakaiannya.
c. Seringkali mengakibatkan ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis.
Jenis penyalahgunaan zat adiktif ini dapat dibedakan menjadi tiga kondisi akibat reaksi kimia didalamnya yang terlihat pada efek perasaan, pemikiran dan pola perilaku. Oleh karena itu zat adiktif ini seringkali diistilahkan dengan zat psikoaktif diantaranya adalah jenis stimulan, sedatif, narkose. Zat adiktif merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan obat yang tidak dapat diidentifikasi jenisnya namun memberikan efek psikologis yang merugikan serta membahayakan jiwa.
Indikator Pelaku dan Pecandu NarkobaPenyalahgunaan obat-obat terlarang seringkali diistilahkan secara populer dengan drug abuse. Istilah ini secara lebih luas untuk menunjukkan pemakaian obat-obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga cenderung tidak mengikuti dosis pemakaian yang dibenarkan secara medis. Orang yang melakukan penggunaan zat-zat sedatif atau penenang (tranquilizer) secara ilegal tanpa tujuan medis yang dibenarkan dan menyebabkan gejala mabuk (intoksikasi) atau psikoaktif yang berakibat munculnya disorientasi dalam aspek psikologis seperti emosi, kognisi dan pola perilaku dinyatakan sebagai pelaku narkoba.Ketergantungan narkotik dan obat-obatan seringkali diistilahkan dengan drug dependency yakni suatu kondisi ketergantungan fisiologis atau psikologis atau keduanya yang menghasilkan pola pemakaian yang bersifat kronis, periodik dan berkelanjutan.
Dalam ketergantungan obat-obatan ini muncul istilah habituasi untuk menunjukkan adanya ketergantungan secara psikologis yang ditandai dengan keinginan psikologis yang berlebihan untuk selalu mengulang penggunaan obat-obatan tersebut dalam jeda waktu yang sangat sebentar serta dapat dipastikan berkelanjutan karena alasan-alasan emosional yang tidak jelas. Orang yang menunjukkan habituasi ini dinamakan pecandu narkoba. Sementara istilah adiksi digunakan untuk menunjukkan ketergantungan fisiologis atas pemakaian obat-obat tersebut. Namun istilah ini secara ilmiah kurang begitu dikenali karena memberikan efek yang relatif sama dengan habituasi. Oleh karena itu drug dependency atau ketergantungan obat-obatan cenderung digunakan untuk menunjukkan adanya habituasi maupun adiksi.
Efek pola perilaku dan psikologis yang diakibatkan oleh ketergantungan narkoba adalah sebagai berikut:
1. Efek Psikotropika
Mariyuana merupakan salah satu psikotropika yang menghasilkan efek psikoaktif yakni semacam kondisi relaksasi yang tidak terkendali. Jenis lain yang lebih berat efeknya adalah hashish. Efek yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Terbentuknya keyakinan bahwa semua obat dapat memecahkan masalah.
b. Terbentuknya perasaan yang makin leluasa untuk menggunakan berbagai macam jenis obat-obatan.
c. Terbentuknya perasaan untuk konformis dengan gaya perilaku tertentu yang biasanya muncul di tempat-hiburan akibat tekanan kelompok.
d. Cenderung memakai persepsi dan pemikiran berbeda dalam meyakini bahwa obat-obatan bisa diperoleh dimana saja dan dipergunakan kapan saja.
e. Adanya indikasi perilaku memberontak dan melawan figur orang tua.
2. Efek stimulan
Umumnya efek stimulan diawali dengan peningkatan proses fisiologis yakni lebih cepatnya tekanan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan kondisi berdebar-debar, pembesaran pupil mata juga terjadinya mulut yang kering, banyak berkeringat, sakit kepala, diare dan muka pucat. Efek psikosis yang dimunculkan untuk jangka yang lama yakni pecandu menjadi bingung, takut dan gugup jika berhadapan dengan realitas. Efek psikologis yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Adanya perilaku berlebih-lebihan yang bersifat sangat aktif, mudah tersinggung dan cepat marah, argumentatif dan suka membantah serta cepat gugup.
b. Cepat dan mudah bergairah atau terangsang, begitu berbahagia dan merasa aman (euforia) dan terlalu banyak bicara namun cenderung tidak terkontrol.
c. Membesarnya pupil dengan sorot mata yang sayu.
d. Tahan untuk tidak tidur dan makan dalam periode waktu yang lama.
3. Efek Narkose
Efek dari jenis sedatif (zat penenang) yang paling berat dan seringkali ditemukan dalam kasus-kasus narkoba adalah efek narkose. Jenis narkose yang paling populer adalah opium atau zat opiat yang biasa disebut sebagai putauw. Jenis lainnya yang setara adalah morfin, heroin, LSD (lysergic acid diethylamide), PCP-Angel Dust (Phencyclidine). Efek narkose ini seringkali dinyatakan sebagai hallucinogen, karena mampu membentuk halusinasi atau delusi dalam fungsi psikologis pecandu. Efek psikologis lainnya adalah sebagai berikut:
a. Munculnya simptom memabukkan seperti alkohol, tanpa jejak bau nafas.
b. Jalan terhuyung-huyung atau sempoyongan.
c. Sering jatuh kesadaran, bahkan tertidur saat beraktivitas.
d. Tampak disoriented.
e. Cenderung berbicara seronok, kotor, mencerca dan mengumpat.
f. Membesarnya pupil dan sorot mata sayu.
g. Susah berkonsentrasi.
h. Cenderung cepat marah dan selalu menampilkan reaksi bertengkar.
i. Adanya distorsi perseptual yang memunculkan halusinasi visual dan auditoris.
KONSEP PEMIKIRAN KASUS NARKOBA
Konsep Psikososial
Psikososial memandang bahwa perbedaan yang dirasakan oleh remaja bukan karena perbedaan atau perubahan nilai namun lebih disebabkan oleh perubahan cara pandang akibat perkembangan intra psikis. Ketergantungan narkoba oleh anak remaja berlatarbelakang dari cara pandang yang keliru dalam menafsirkan internalisasi nilai-nilai dari keluarga. Apalagi jika diketahui bahwa kehidupan keluarga anak remaja tersebut ternyata tidak ditemukan adanya proses internalisasi orangtua kepada anak-anaknya, sehingga mereka pun tidak pernah mengerti nilai-nilai atau norma apa saja yang harus ia cerna, olah dan ia tata kembali ke dalam dirinya. Anak remaja demikian hanya sanggup mengenali suatu model perilaku berdasarkan sesuatu yang teramati (observable) saja, namun tidak mampu mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah model yang ia tetapkan.Ahli lain Sears, memiliki konsep identitas sebagai keutuhan yang menyeluruh dari semua sub domain yang spesifik dan merupakan cerminan berfungsinya ego. Yang dimaksud dengan sub domain disini adalah penekanan pada aspek kognisi yang lambat laun akan makin berkembang menuju sosial kognitif dan pembentukan identitas.
Remaja dianggap telah telah mencapai tingkat kedewasaan jika sikap sosial yang ditunjukkan bersifat prososial. Awal mulanya sosial kognitif ini berangkat dari minat pribadi sehingga bagi beberapa remaja bisa berbeda. Dalam kehidupan sosial, remaja mulai dihadapkan dengan tuntutan dan harapan-harapan masyarakat seperti halnya kepatuhan terhadap peraturan maupun hukum tertulis, etika dalam bergaul dan cara bertingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat sehingga remaja perlu menetapkan sikap sosial yang secara normatif dapat diterima lingkungan. Dalam sikap sosial ini remaja telah memiliki ketetapan hati secara moral, sehingga ia dapat diterima dimanapun ia berada namun tidak mengurangi kemandirian dan keunikan pribadinya yang bisa dibedakan dari remaja lain. Dari konsep Sears dapat diidentifikasi bahwa terjadinya ketergantungan narkoba merupakan sebuah kegagalan atas usaha pendekatan yang bersifat menyeluruh untuk menguasai dan menonjolkan ‘trait kepribadian’. Ego tidak lagi dipandang sebagai suatu alat untuk menyeleksi dan menyaring hal-hal dalam realitas kehidupan sebagai cara untuk mengurangi derajat kecemasan. Agaknya tingkahlaku yang berhubungan erat dengan narkoba dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mempelajari dan menonjolkan ‘trait kepribadian’ mulai dari masa terjadinya kegagalan individuasi yang terus berkembang mencapai tahap selanjutnya yang seharusnya lebih matang secara fungsional di masa remaja akhir dan dewasa. Karena fungsi ego dalam bentuk-bentuk umum sebagai pengendali impuls, gaya kepribadian, penetapan fungsi kesadaran, corak kognitif tiap-tiap tahapan, maka pecandu narkoba dan kasus ketergantungan narkoba dapat dipandang sebagai malfunction dalam struktur ego identity.
Secara normatif, remaja akan mengorganisasikan impuls-impuls yang dirasakannya dimana minat pribadi dianggap sebagai penggerak utama sehingga ia harus sesegera mungkin menemukan konformitas dengan kelompok sosialnya. Jika kondisi sosial telah disetting sebagai suatu ajang kegiatan narkoba oleh para pengedar, maka ia akan sangat relatif mudah untuk terlibat didalamnya.Dari rujukan psikososial, dapat ditelusuri kondisi alamiah untuk menganalisis peran identitas seorang anak remaja yang kecanduan narkoba terhadap apa yang ia ingin perankan dalam suatu kelompok dimana dalam kondisi demikian, ia bisa dikenali atau mengenali, membantu atau memperoleh bantuan dari lingkungan sekitarnya sehingga ego remaja tersebut makin lama kian terlihat jelas. Dalam penerapan teori Erikson, perlu membedakan proses pencapaian identitas dengan istilah introjection untuk masa bayi, identifikasi untuk masa anak-anak dan formasi identitas untuk masa remaja. Penekanan pada masa remaja bagi Erikson dijelaskan bahwa hal itu merupakan suatu kesempatan oleh remaja untuk mencoba membentuk identitasnya dari identifikasi yang ia telah capai sebelumnya secara kualitatif. Hasil akhir identitas itu merupakan perpaduan dari identifikasi pengalaman individu masa lalu mencakup didalamnya figur-figur signifikan, hal-hal yang dianggap paling berkesan dalam suatu rangkaian yang berkelanjutan dan umumnya bersifat unik.
Kecanduan Narkoba sebagai Kegagalan dalam Individuasi Kedua
Bagi pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang, kondisi ‘kesadaran’ yang lebih matang merupakan hal utama yang dipandang harus terjadi dimasa remaja akhir dan dewasa, sebaliknya remaja demikian ternyata tidak mendapatkan ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri sehingga tidak adekuat dalam menyadari dan menerima dirinya sehingga perlu merasa exist dalam situasi apapun. Dari paradigma demikian, pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obatan tidak bisa memperbedakan dirinya dengan orang lain, sehingga merasa untuk selalu menyalurkan drives ataupun memenuhi needs-nya untuk tetap berada dalam konformitas kelompok sosialnya, kendati ia berada dalam kelompok sosial yang asosial. Sikap dan tingkahlakunya lebih menghargai individualitas yang sebenarnya bersifat unconsciousness guna memantapkan mutualisma yang lebih kokoh dalam sebuah keterikatan. Disinilah pangkal tejadinya seorang pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang relatif sukar dipisahkan dari “kelompok sosialnya” sehingga ia menjadi pelanggan setia penggunaan narkoba.Individu yang begitu impulsif bukanlah sesuatu hal yang perlu dipersoalkan, akan tetapi memang seharusnya anak-anak tampak demikian karena dirinya sedang dipenuhi oleh impuls dan hasrat yang ternyata memiliki keterikatan kuat secara unconsciousness dengan kelompok jaringan pengedar narkoba.
Dalam kondisi demikian, proses transformasi dalam tahap perkembangan yang seharusnya belajar membuat keseimbangan antara subjek dirinya dengan objek di sekitarnya cenderung tidak tercapai. Secara normatif, suatu diri/pribadi – identitas anak muda mencerminkan kebutuhan dan minatnya sendiri, namun tidak menunjukkan jarak perbedaan dengan apa yang ia terima dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan antara kebutuhan dan minat dalam diri pribadi merupakan titik awal seorang anak muda belajar mencoba membuat keseimbangan, kemudian bergeser ke minat dan kebutuhan subjek – self dengan objek di sekitarnya. Lambat laun anak muda yang berkembang menjadi remaja harus dapat membuat keseimbangan antara minat dan kebutuhannya, tidak lagi kepada objek melainkan dengan orang-orang lain sehingga ia sanggup membentuk hubungan interpersonal dan keterikatan dalam hubungan dengan orang lain dalam sifat mutulalistik yang produktif.
Lebih luas lagi, keseimbangan itu juga menuju antara peran-peran kelembagaan yang bersifat legal, bukan lagi hanya lingkup kelompok sosialnya. Persoalannya pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang lebih terpaku dengan unconsciousness untuk tetap merasa terikat dengan suatu objek (narkoba) guna membentuk keseimbangan antara minat dan kebutuhannya di tengah-tengah kelompok sosialnya. Jaringan peredaran narkoba dan obat-obat terlarang merupakan sebuah kelompok sosial yang sangat efektif untuk menstimulasi dorongan dan membangkitkan ketetapan hati seorang pecandu, karena ia dapat memperoleh segalanya dengan cepat dan memuaskan.Keberhasilan dan kegagalan untuk mengembangkan dirinya – self, tentunya akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang dirasakan seorang remaja selama rentang kehidupannya.
Dan disinilah letak problematik yang kemudian sering muncul, bila ternyata remaja tidak memperoleh kepuasan terhadap dirinya; sementara ia sendiri, orang dewasa atau orangtua tidak pernah menyadari adanya akar permasalahan yang sebenarnya. Kebanyakan kalau pun mengerti, mereka lebih banyak mencoba melangkah pada fenomena permasalahan yang menjadi kasus, bukan pada pokok kerangka mendasar perkembangan identitas remaja. Jika terdapat seorang anak remaja bergantung pada narkoba maka seringkali upaya penanganannya adalah menjadikan ia tidak lagi bergantung, bukannya merekayasa kembali struktur kepribadian yang rawan terhadap situasi-situasi yang dapat membangkitkan ketidakpuasan dan kecemasan dalam diri.
Konsep Re-Individuasi Pecandu Narkoba
Jika pecandu telah menunjukkan ketidakmampuan untuk mencoba mengendalikan/ mengkontrol impuls dalam dirinya, maka ia perlu dilatih agar mampu membuat jarak antara impulsnya dengan kontrol diri. Pembelajaran mengantisipasi hal itu dapat dibuat dalam jangka pendek dengan menerapkan reward atau punishment; sampai upaya untuk melakukan kontrol semakin tampak nyata terlihat. Cara demikian dimaksudkan untuk mencoba mengembangkan kemandirian dan ketergantungan dari faktor-faktor eksternal yang seharusnya biasa terjadi secara alamiah pada masa transisi tahap perkembangan anak usia sekolah. Meski minat pribadi masih mungkin tampak mendominasi dirinya, agaknya hal itu tak perlu dipersoalkan guna mendeteksi situasi penggerak tindakannya dalam menyalurkan keinginan-keinginannya. Dengan cara ini lambat laun ia diharapkan mampu dalam membangun keterikatan iterpersonal, meski tidak begitu kuat bergantung, namun ada karakteristik hati-hati/waspada, usaha manipulasi dan kontrol; yang kesemuanya merupakan hal utama dalam kesadaran.
Jika pecandu mulai mambangkitkan kepuasan diri melalui sebuah kelompok dimana ia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan; dikala mana ia menganggap dirinya tidak banyak berbeda dengan kelompoknya; diharapkan akan terjadi individuasi dalam basic trust seperti diungkapkan oleh Erikson. Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa kelompok adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri remaja dan ego orang dewasa. Untuk mencapai konformis, aturan dalam kelompok akan dipatuhi sepenuhnya oleh anak, karena ia pun takut adanya penolakan dari kelompok atau hukuman sehingga keinginan untuk bisa diterima kelompok atau penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulnyanya. Inner life untuk menjadi konformis, lazimnya membuat anak menjadi santun, obedience, kooperatif dalam klik/geng yang nyata, mencapai penerimaan sosial, reputasi dan perolehan tingkat status diri; yang kesemuanya juga merupakan bagian utama dalam kesadaran.
Tingkat transisi ini paling mudah untuk diketahui karena merupakan modal utama/dasar dalam tahap perkembangan ego orang dewasa. Dalam tahap ini, pecandu bisa mencapai kesadaran diri sepenuhnya, bahkan bisa diketahui adanya peningkatan yang terus menerus terhadap kesadaran diri dan mulai membuka diri serta memahami adanya berbagai kemungkinan dalam suatu situasi. Meski agak samar-samar dalam mengungkap perasaan-perasaannya namun ia selalu dalam keadaan sadar diri sehingga melalui fungsi ego pada tingkat ini ia sanggup mengungkapkan gambaran-gambaran inner lifenya. Ia bisa menemukan dan menyadari bahwa dirinya sebagai pribadi seutuhnya (as self is self), bahkan bisa memisahkan diri dari identifikasi total norma “kelompok narkoba”.
Pada tahap ini menggambarkan kualitas kemampuan pecandu dari aspek jangka panjang, diharapkan pecandu telah mampu mengevaluasi secara kritis tujuan-tujuannya, bersedia dan mampu untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, menyadari tanggungjawab pribadi, mampu untuk menggambarkan perbedaan individu dari aspek traits dirinya sendiri. Jika nilai-nilai sosial yang lazim dan normatif telah terinternalisasi, diharapkan pecandu bisa membedakan benar atau salah bergantung pada evaluasi pandangan diri pribadinya. Perlindungan diri yang diyakini sebagai pokok terbentuknya ketergantungan pecandu, diperoleh melalui kesediaan untuk patuh terhadap norma sosial yang lebih luas atau guna menghindari legalitas hukum sosial atau masyarakat yang berlaku. Perilaku demikian akan tampak dengan usaha pecandu untuk tetap mencoba konformis agar memperoleh penerimaan sosial dari kelompok, menyadari perlunya untuk mengevaluasi secara individu aturan dan standart aturan yang diberlakukan serta mulai memikirkan tujuan-tujuan jangka panjang serta pemikiran yang ideal sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan moral.
Adanya peningkatan rasa dan penghargaan terhadap individualitas berkenaan dengan keleluasaan dalam menyatakan ungkapan emosional merupakan sebuah pertanda terbentuknya suatu keterikatan hubungan. Keterikatan hubungan yang akrab justru sering dipandang sebagai hal yang kurang pas mengingat perlunya upaya untuk pencapaian prestasi hidup. Yang lebih penting, harus ditumbuhkan kesadaran terhadap konflik atas inner life yang mulai menurun, tetapi konflik itu justru mulai terungkap tampil secara nyata atau tereksternalisasi; namun bisa teratasi. Misalnya bila segala sesuatunya diserahkan kepada Tuhan, maka konflik tentang keinginan kembali mencoba narkoba bisa terakomodasikan. Konflik internal demikian justru harus diterima guna peningkatan ke tahap selanjutnya yakni kemandirian serta menerima konflik tersebut sebagai cara hidup, karena hal itu akan meningkatkan kemampuan toleransi terhadap paradoksal (hal yang berlebih-lebihan atau berlawanan) atau ambiguitas (ketidakpastian) suatu permasalahan yang sedang atau akan dihadapi.
Kemampuan untuk melakukan coping atas kebutuhan konflik dan tanggungjawab merupakan hal yang membedakan perkembangan ego antara saat ia sedang menjadi pecandu atau setelah ia merasa bebas dari kecanduan. Individu yang begitu mandiri mungkin tidak begitu lebih banyak memperoleh konflik daripada individu yang kurang matang egonya, tetapi individu yang menerima konflik lebih banyak justru menggambarkan kelincahan dia dalam menghadapi dan menyiasati lingkungannya Toleransi yang lebih besar dari munculnya ambiguitas akan meningkatkan struktur kognitif yang lebih kompleks dan suatu saat hal itu berfungsi untuk makin memperkuat kerangka kemandirian yang hendak dicapai individu dari ketergantungan obat-obat terlarang dan narkoba. Individu dengan kemandirian yang begitu tinggi akan lebih kuat dalam membina hubungan keterikatan dengan orang lain dimana ia begitu menghargai kemandirian orang lain dalam hubungan keterikatan emosi, afeksi atau konasi seperti itu. Dapat dimaknakan bahwa kemandirian untuk membina keterikatan dengan orang lain merupakan sebuah bukti untuk tidak terlampau bergantung pada hubungan keterikatan itu sendiri melainkan lebih menghargai kemandirian orang didalamnya.
Tahap tertinggi yang mungkin bisa dicapai untuk memberi treatment dalam perkembangan ego seorang pecandu adalah identifikasi adanya kemampuan untuk metransendentalkan konflik dalam tahap kemandirian. Adanya peningkatan dalam kualitas kompleksitas struktur kognitif, lebih mementingkan hubungan keterikatan inerpersonal yang bersifat mutualisma dan menghargai kebebasan dan kemandirian orang lain selama menjalin hubungan keterikatan tersebut. Ia pun mampu mengembangkan diri dimana bisa membedakan dirinya sebagai keutuhan pribadi atau identitas tersendiri dengan tetap menghargai sebuah makna individualitas. Dari sudut pandang Maslow, tahap ini lebih lazim dikenali sebagai tahap aktualisasi diri. Tahap ini adalah hal yang tersukar dan begitu sedikit kemungkinannya untuk bisa diterapkan kepada pecandu narkoba, karena kapasitas kematangan ego sendiri belum jelas batasannya bagi rata-rata pecandu, sehingga untuk membedakan mana yang lebih tinggi kematangan ego individu pecandu pun tidak begitu jelas untuk mengungkapkannya.Kematangan perkembangan ego orang dewasa secara langsung dapat dinyatakan dalam hubungan dengan penyesuaian diri yang bagus (wellbeing) dalam menyiasati problem-problem lingkungan sekitarnya. Ada baiknya bila mengulas baik-buruknya penyesuaian diri (adjustment) seorang pecandu lebih didasarkan atas patokan-patokan normatif yang lebih bersifat umum dan luas dari sisi sosial. Namun yang terpenting adalah mengevaluasi kembali penyesuaian diri (adjustment) kelompok pecandu secara periodik berdasarkan perkembangan ego functioning yang lebih diarahkan dengan kuat lemahnya kesadaran diri dan untuk menjadi makin konformis (conscientious & conformist) dalam norma sosial masyarakat yang lebih luas dan umum, namun sederhana untuk dipahami dan diaplikasikan.

Fungsi Keluarga sebagai Variabel Intervensi.
Apabila remaja telah memiliki rasa percaya bahwa orangtuanya akan memberi support maka individu yang bersangkutan akan mencapai suatu kondisi perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan; baik dari segi fisik, emosi dan afeksional serta konseptual. Selanjutnya, kondisi perasaan demikian akan terus berkembang dalam berbagai pengalaman hidup sepanjang waktu dalam rentang kehidupan remaja. Berangkat dari berbagai pengalaman kehidupannya yang selalu memperoleh perasaan nyaman dan tenang atas segala kemungkinan kesulitan hidup karena selalu percaya adanya support orangtua, membuat remaja mampu untuk membangun identitas egonya dengan fokus future orientation. Selama remaja berinteraksi bersama dengan orangtuanya, seluruh pengalaman hidup diri individu yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai memasuki tahap masa remaja akan memperoleh peluang yang lebih besar dan lebih baik secara kualitatif untuk diinternalisasikan ke dalam pribadi remaja.
Hasil dari internalisasi tersebut adalah persepsi remaja tentang nilai, norma dan perilaku figur orangtuanya selama memberikan support kepada dirinya. Oleh karena itu, percaya adanya support orangtua yang dikemukakan oleh Marcia menjadi sangat penting untuk dipersepsikan dalam alam pemikiran remaja; mengingat bahwa support orangtua adalah social support yang pertama dan utama. Sebab dengan adanya persepsi remaja atas support orangtua, maka individu yang bersangkutan akan mendapatkan rasa aman. Dengan adanya rasa aman maka remaja menjadi lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, terhadap berbagai bentuk self yang dapat dicapai sebagai substitusi figur pecandu narkoba. Apabila ia mampu memahami dan menghayati kelemahan dan keunggulan atas ability, potency dan competency dirinya, maka ia pun relatif lebih mudah untuk menyesuai terhadap kesulitan dan permasalahan yang sedang dan akan dihadapinya kelak.
Dengan kata lain, ia bisa dianggap cukup mampu menghadapi tantangan krisis identitas yang kemungkinan bisa menimpa dirinya di waktu-waktu mendatang. Oleh karenanya diharapkan pecandu bisa bertindak realistis dan layak untuk menetapkan self nya sesuai dengan keunikan-keunikan yang dimilikinya. Ia mampu membedakan pribadinya dengan orang lain serta diterima oleh pandangan sosiobudaya serta memenuhi harapan dan tuntutan lingkup masyarakat tempat remaja dibesarkan.Tidak selamanya sebuah support orangtua dapat diandalkan dalam memberi kontribuasi yang positif maupun konstruktif terhadap pembentukan identitas remaja. Sebab support orangtua merupakan bagian terbesar dari sebuah sistem dan mekanisme social support secara keseluruhan. Sementara itu, orangtua sebagai figur otoritas keluarga juga menerima tekanan dan tuntutan pula dari kelompok masyarakatnya; mengingat keluarga adalah masyarakat terkecil dan bagian terkecil dari sebuah masyarakat universal.
Sebagai sebuah masyarakat terkecil, sebuah figur otoritas keluarga yakni orangtua akan mengembangkan dan memberlakukan tersendiri norma dan nilai keluarga atas anggota-anggotanya. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Bagaimanapun juga, lingkungan masyarakat yang paling dominan adalah sebuah keluarga tempat anak remaja merasa memiliki keterikatan yang kuat dari aspek emosi, afektif, kognitif dan konatif.

DESAIN INTERVENSI
Batasan Operasionalisasi.
Fakta-fakta telah menunjukkan bahwa narkoba merupakan penyakit kronis yang kemungkinan kambuhnya sangat besar meski telah diupayakan pengobatan terhadapnya. Sekitar 70% dari pecandu narkoba adalah siswa sekolah yang berusia antara 15-25 tahun. Berdasarkan dari data-data yang berhasil dihimpun dari guru-guru peserta penataran Guru Pembina OSIS yang diadakan oleh Direktorat Pembinaan Kesiswaan Dikdasmen pada Agustus 2000 tahun lalu, menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba sudah ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia. Data tersebut makin menegaskan bahwa keterlibatan siswa sekolah menjadi bertambah dominan dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Diyakini ada kejadian ironis antara upaya penanggulangan narkoba secara nasional dan jumlah pemakai atau penyalahgunaan narkoba yang justru meningkat dan diduga karena proses edukatif kampanye narkoba yang justru memicu anak sekolah untuk bereksplorasi terhadap narkoba tanpa dasar kontrol diri yang memadai.Berhenti memakai narkoba adalah sebuah tindakan yang relatif sulit dihentikan karena dalam diri pemakai terjadi perubahan gangguan seperti perasaan, kesadaran, pola pikir, perilaku yang berbeda dengan nilai umum sosial kemasyarakatan yang berlaku.
Pecandu narkoba rata-rata akan mengalami intoksikasi yakni terjadinya kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan narkoba secara rutin sehingga terjadi gangguan kesadaran fungsi kognitif, persepsi, emosi dan respon fisiologis lainnya yang dapat dikenali dari perilaku tak terkontrol. Penyembuhan korban ketergantungan narkoba merupakan masalah pelik karena mengandung kemungkinan kambuh yang cukup besar. Tingkat relaps (kembali menjadi penderita ketergantungan narkoba) sangat tinggi; yakni mencapai 90%. Kekambuhan tertinggi, rata-rata dalam waktu 90 hari setelah detoksifikasi dan umumnya 65-70% penderita akan kecanduan narkoba lagi pada pada tahun pertama pengobatan atau menjalani program rehabilitasi.Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa penanggulangan masalah narkoba tidak hanya cukup dengan mengandalkan aspek kontribusi medis dan perangkat hukum, melainkan sangat diperlukan adanya upaya terpadu dan koordinasi lintas sektoral antara lembaga sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan institusi kepemerintahan. Sikap keras dan punitif dari sisi hukum hendaknya dapat dikompensasikan dengan kontribusi medis, baik rehabilitasi secara fisiologis maupun psikologis. Salah satu aspek psikososial yang memberi kontribusi pada terjadinya penyalahgunaan narkoba adalah faktor kondisi keluarga, lebih tepatnya terjadinya degradasi fungsi keluarga. Ketahanan keluarga bisa dijadikan faktor penentu dalam mereduksi penyalahgunaan narkoba. Selain itu, penekanan fungsi dan peran sekolah tetap difokuskan lebih mendalam pada masalah pencegahan, mengingat bahwa keterlibatan siswa sekolah dalam kasus narkoba kian bertambah besar jumlahnya.
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, intervensi sosial yang dirancang untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba di sini lebih difokuskan pada batas operasionalisasi program-program promotif, preventif dan implementatif yang bersifat psikososial di lingkup sekolah dan keluarga. Program promotif dalam intervensi demikian berupa suatu propaganda antinarkoba yang secara strategis harus melibatkan pihak keluarga, sekolah, institusi kepemerintahan terkait serta organisasi sosial kemasyarakatan, baik formal maupun nonfomal. Program promotif ini bertujuan untuk memberi informasi secara terbuka tentang substansi narkoba dan bahaya yang dapat ditimbulkannya secara komprehensif agar semua pihak bisa memperoleh wacana tentang narkoba selengkap-lengkapnya. Kampanye edukatif dalam program intervensi demikian harus melibatkan berbagai pakar yang membidangi masalah tersebut sehingga wacana tentang narkoba dapat dipahami secara multidimensi.Substansi program promotif dapat berisi wacana tentang berbagai studi dan hasil penelitian ilmiah tentang jenis-jenis narkoba lengkap dengan efek yang dapat ditimbulkan, jenis-jenis bahaya penyalahgunaannya, data-data temuan dari RSKO atau panti rehabilitatif, gejala-gejala intoksikasi yang berhubungan dengan perubahan biokimia otak, overdosis dan cara penanggulangan pertama, karakteristik degradasi fungsi keluarga dan peran orangtua, pengenalan dan pengetahuan terhadap unit-unit posko narkoba, pengenalan narkoba dari aspek hukum maupun ekonomi, dampak infeksi penyakit yang ditimbulkan, dampak gangguan jiwa serta hal-hal praktis yang harus dilakukan jika menghadapi atau mengalami kasus narkoba.
Sementara itu program preventif dilakukan dengan membentuk jaringan multilevel antinarkoba dalam suatu gugus kendali yang tidak saja melibatkan institusi formal, namun juga memiliki aspek pemberdayaan kontrol sosial dalam segenap lapisan masyarakat. Secara kongkritnya, program preventif demikian dilakukan dengan membentuk satgas atau satkorlak antinarkoba yang keberadaannya dibawah koordinasi dan komando institusi formal kepemerintahan atau kemasyarakatan. Satgas atau satkorlak itu dapat berupa gugus kendali yang membentuk jaringan ke sekolah-sekolah atau kampus semacam PMR atau OSIS serta ke kampung-kampung semacam pemberdayaan karang taruna atau LKMD dengan pusat koordinasi tingkat kantor kecamatan. Untuk institusi kepemerintahan jaringan gugus kendali itu di bawah komando dan pengawasan bersama seperti Depdikbud atau Depag tingkat kantor kecamatan, Puskesmas atau RSU dan Polsek; sedangkan institusi formal kemasyarakatan dibawah koordinasi Pembantu Camat, Lurah atau Kepala Desa serta melibatkan Dewan Religi seperti Dewan Gereja atau Dewan Masjid tingkat kecamatan.
Jaring gugus kendali terendah berada pada tingkat sekolah atau kampus, yakni siswa itu sendiri atau mahasiswa, sementara untuk tingkat non formal jaring terendah pada tingkat RT.Tugas satgas demikian adalah mendistribusikan program promotif yang terstruktur baku dan distandardisasikan substansinya, mengimplementasikan kegiatan periodik dari propaganda, melakukan pendataan kasus-kasus narkoba, mengidentifikasi pelaku narkoba, melakukan survey sosial atas kelemahan sistem dan aplikasi propaganda antinarkoba secara periodik dimulai dari unit gugus jaring terkecil.

Target SpesifikP
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu kondisi yang bisa dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa, sehingga penyalahguna seperti pemakai dan pecandu tidak mampu lagi berperan wajar mengikuti nilai dan norma perilaku dalam masyarakat. Kondisi ini terlihat pada makin melemahnya fungsi sosial, pekerjaan, sekolah dan ketidakmampuan mengendalikan diri dalam mengkonsumsi narkoba. Penderitaan dan kerusakan akibat penyalahgunaan narkoba berdampak luas, tidak hanya akan mengganggu diri pemakai atau pecandu tetapi juga menimpa keluarga dan masyarakat sekitarnya yang pada gilirannya bisa mengganggu lingkungan.Kondisi keluarga yang memiliki resiko tinggi menjadi pendorong penyalahgunaan narkoba, diantaranya adalah kematian orangtua, perceraian, kurang harmonisnya hubungan orangtua, komunikasi yang buruk antara anak dengan orangtua, rumah tangga selalu diwarnai ketegangan emosi, suasana keluarga tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi anggotanya, orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah serta adanya kelainan kepribadian orangtua.
Dari sektor keluarga, target spesifik yang diharapkan adalah bahwa upaya penanganan narkoba harus bermuara pada satu hasil, yakni menciptakan kondisi sehat dan kondusif yang memungkinan anak remaja bisa berkembang secara optimal. Oleh karena itu pendekatan persuasif, edukatif dan psikologis dalam keluarga merupakan sebuah parameter untuk mengidentifikasi besar kecilnya peluang kasus narkoba menyusup dalam sebuah kehidupan keluarga. Sementara program promotif bersifat memberi sugesti dan melakukan kontrol sosial serta memantapkan fungsi keluarga dengan menunjukkan bahwa mereka sebagai sebuah keluarga tidaklah sendiri dan dapat berbagi masalah dengan lingkungan sosial terdekatnya.Adapun populasi sasaran untuk program intervensi ini adalah daerah rawan narkoba berdasar data dari Kepolisian, Kejari, RSKO atau UGD RSU, Depdikbud untuk tiap-tiap kecamatan. Preliminary study dalam intervensi ini memfokuskan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung sebagai populasi sasaran prioritas pertama. Target sasaran adalah kelompok anak remaja dengan rentang usia 15-25 dengan operasionalisasi satuan gugus kendali formal untuk target siswa sekolah dan mahasiswa dan satuan gugus kendali non formal untuk target anak remaja yang tidak bersekolah.
Sasaran untuk program pembinaan kesiswaan mencakup SD, SMP, SMU dan SMK di bawah Depdiknas cq. Dikdasmen serta MI, MTS, MA dibawah Depag dan Perguruan Tinggi di bawah koordinasi Dikti.Dalam satuan gugus kendali dibentuk sejumlah kader penggerak sesuai kebutuhan dalam operasi unit dengan parameter prioritas titik rawan narkoba dan rentang kendali antara jumlah anggota gugus dengan banyaknya satuan gugus kendali. Misalnya kader penggerak dalam satuan gugus kendali ditentukan dengan perhitungan populasi jumlah per 100 kepala keluarga untuk tingkat non formal kemasyarakatan, sementara untuk tingkat formal sekolah dan kampus dengan jumlah per 100 siswa atau mahasiswa. Tugas kader penggerak bersifat fungsional, yakni memotivasi anggota satuan gugus kendali untuk terlibat dalam setiap event program intervensi, membuat catatan kemajuan aktivitas kelompok gugus kendali dan melaporkannya ke unit koordinasi dan unit operasi. Yang perlu diperhatikan bahwa setiap satuan gugus kendali harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga buah catatan kemajuan dari masing-masing kader penggerak yang berlainan.
Oleh karena itu infrastruktur semacam intra network communication mutlak diperlukan dalam kegiatan intervensi demikian yang menginduk pada database komisariat. Untuk efisiensi waktu dan biaya dapat dipergunakan jaringan situs web atau portal swasta dalam bentuk electronics mail; namun untuk tahap selanjutnya dalam tahun program berjalan perlu dibuat tersendiri situs web anti narkoba; sekaligus sebagai fungsi promotif dan propaganda ke masyarakat elektronik yang memerlukan dan belum tersentuh program demikian. .Sosialisasi program intervensi pada tahap pertama ini masih bersifat promotif, yakni mempublikasikannya ke khalayak umum dengan menggandeng sejumlah perusahaan atau BUMN dengan maksud memperoleh simpati masyarakat dan dukungan moral atau mengetahui tanggapan masyarakat yang lebih luas. Hal demikian ditujukan untuk memperoleh ancangan dalam menyusun cara atas program intervensi yang lebih efektif dalam operasionalisasinya dengan parameter sambutan positif masyarakat yang lebih kuat dan dukungan maupun keterlibatan massa yang lebih besar. Jika program intervensi telah dievaluasi ulang serta cukup memberi bukti atas penguatan kepedulian sosial yang lebih tinggi dan sambutan positif yang lebih kuat, maka program intervensi tahap I mulai dilaksanakan dengan sasaran pertama adalah daerah yang dianggap paling rawan narkoba berdasar identifikasi yang telah dilakukan oleh komisi inti dan komisi pakar serta temuan terbaru unit koordinasi dan unit operasi di lapangan pasca evaluasi.
RANGKUMAN
Suatu ketergantungan narkoba dipandang sebagai sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Disinilah perlunya sebuah intervensi sosial terhadap pecandu narkoba maupun untuk mengantisipasi keterlibatan narkoba dari anak remaja harus benar-benar memperhitungkan aspek nilai, norma dan keyakinan tradisional masyarakat tempat anak remaja berasal.Pribadi – self, baik kelompok pecandu narkoba ataupun bukan, secara optimal selama program intervensi diharapkan dapat membangkitkan pembentukan keseimbangan baru dalam kebersamaan hidup dengan lingkungan yang didalamnya mencakup tiga karakteristik yakni: kepastian rasa aman, keleluasaan bertindak dan memelihara kondisi kehidupan lingkungannya.
Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa program intervensi adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri selama program dilaksanakan. Untuk mencapai konformis, aturan normatif kelompok dalam program intervensi disetting melalui satuan gugus kendali untuk menumbuhkan penghayatan rasa takut adanya penolakan dari kelompok yang lebih luas (kemasyarakatan) sehingga keinginan untuk mencapai penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulsnya yang tersugesti oleh narkoba.Suatu intervensi sosial yang digunakan dalam kasus narkoba haruslah mengetahui sejauhmana seorang individu dapat mencapai keseimbangan pembentukan makna, apakah terlihat kontradiksi antara suatu waktu yang tepat dengan tindakan yang sepantasnya serta melihat bagaimana pemeliharaan kondisi lingkungan tempat ia hidup agar proses pembentukan makna tersebut terjadi secara optimal. Konsentrasi dari program intervensi ini merupakan serangkaian cara yang efektif dan ilmiah untuk melakukan penetrasi informasi yang kongkrit tentang upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah narkoba melalui fungsi keluarga dan sekolah dengan tujuan menumbuhkan self motivated setiap pribadi dalam mengantisipasi permasalahan bahaya narkoba dengan mengutamakan prinsip-prinsip moral dan etika secara normatif. Hasil nyata yang diharapkan adalah terbukanya wawasan pengetahuan secara kognitif tentang permasalahan bahaya narkoba secara kongkrit dan mendetail yang dapat mempengaruhi aspek afeksi, emosi dan afiliasi terhadap pelaku, pemakai, pecandu maupun bukan pecandu narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Sally L. 1994. Interventions for Adolescent Identity Development. A Sage Focus Edition, USA
Coleman J., et. al. 1984. Abnormal Psychology and Modern Life (7th ed.). Foresman USA
Deaux, K., Lawrence S. Wrigthsman. 1988. Social Psychology. Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology. A Life Span Approach. 5th ed. Tata McGraw Hill Inc., New Delhi
Ingersoll, Gary M. 1989. Adolescents. 2th. Ed. Prentice Hall Inc., A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs, New Jersey
Kroger, Jane. 1997. Identity in Adolescence. The Balance between Self and Other. 2th ed. Adolescence and Society Series. Routledge, New York, USA
Marcia, James E. et. al., 1993. Ego Identity. A Handbook for Psychosocial Research Springer Verlag New York Inc., USA
Steinberg, L. 1993. Adolescence.International Edition. 3th. Ed. McGraw Hill Inc., New York, USA
Schaefer, Charles E., Howard L. Millman. 1981. How to Help Children With Common Problems. Van Nostrand Reinhold Co., Inc., New York, USA
Woolfolk, A E. 1998. Educational Psychology. 7th. Ed. Allyn and Bacon, USA
Sumber Data
Kompas, harian umum, 11 Desember 1999
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 10 Desember 2001
Media Indonesia, harian umum, 1 Nopember 2000
_________________, 21 April 2001
_________________, 11 Februari 2000
_________________, 5 Agustus 2000
_________________, 30 Oktober 2001
_________________, 4 September 2000
_________________, 18 Agustus 1999
Pikiran Rakyat, harian umum, 27 Desember 2001
Republika, harian umum, 27 Juni 2001
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 8 Januari 2001

Jumat, 12 Maret 2010

KONSULTAN PSIKOLOGI, TRAINING & MANAJEMEN

Salah satu upaya Manajemen SDM & Organisasi adalah melakukan pemetaan kompetensi SDM guna memperoleh pegawai yang dapat diandalkan. Pemetaan kompetensi (Competency Mapping) merupakan inventarisasi sejumlah potensi SDM yang mencakup skill, dasar kecakapan umum, bakat kerja, minat dan kemampuan dari seluruh pegawai agar memperoleh individu yang benar-benar cocok dan tepat guna mengemban dan melaksanakan tugas. Pemetaan kompetensi dapat mencakup aktivitas yang berupa rekrutmen, seleksi, promosi untuk tujuan pengangkatan status pegawai; atau demosi, mutasi, rotasi dan terminasi.
Melalui Pemetaan Kompetensi, Manajemen SDM dan Organisasi mampu bertindak lebih terbuka serta tidak diskriminatif dalam mendapatkan tenaga SDM yang handal guna mengoptimalisasikan prestasi kerja menurut karakteristik pekerjaan. Dengan demikian keunikan tiap tugas yang diemban oleh sumber daya manusia diharapkan mampu memperlihatkan prestasi dan kinerja yang lebih optimal, efektif dan efisien. Media Duta Manggala Bandung mengembangkan program pengelolaan dan pemberdayaan SDM secara terintegrasi Personal Assessment (Psikotest) & Training untuk menjawab permasalahan yang dihadapi setiap organisasi.
Personal Assessment
Merupakan salah satu kegiatan evaluasi psikologi yang bertujuan menggali potensi SDM secara individual dalam kaitannya dengan pekerjaan. Melalui jasa ini dapat diperoleh gambaran secara khusus tentang kelebihan/kekuatan maupun kelemahan SDM. Data psikologis yang diperoleh akan sangat besar manfaatnya guna menunjang efektivitas penempatan, mutasi, pelatihan dan pengembangan, serta penentuan jenjang karir. Secara garis besar, Pemetaan kompetensi melalui Personal Assessment (psikotes) akan mengeksplorasi kepribadian meliputi lima aspek utama:
Ø Fungsi Kecerdasan (Kognisi)
Ø Fungsi Sikap Kerja (Motivasi & Prestasi)
Ø Fungsi Emosi
Ø Fungsi Interaksi
Ø Kepemimpinan
Tujuan
1. Memperoleh tenaga kerja yang berpotensi tinggi dan dapat diandalkan
2. Memilih dan memilah tenaga kerja yang berpotensi tinggi secara bergradasi
3. Memperoleh tenaga kerja berpotensi tinggi yang berkarakteristik relatif sama dengan karakteristik posisi jabatan

Kegunaan
1. Memperoleh gambaran kekuatan SDM dalam organisasi perusahaan baik secara individual, kelompok, sektoral maupun keseluruhan
2. Merupakan kerangka acuan untuk membuat konstelasi formasi SDM yang kohesif, sinergi dan andal
3. Memperoleh informasi tentang karakteristik potensial tiap-tiap SDM
4. Sebagai informasi untuk memprediksikan & memproyeksikan potensi SDM dimasa mendatang

Sasaran
1. Pegawai setingkat pesuruh/kurir/upas (setara SD – SMP)
2. Pegawai setingkat pelaksana/operator (setingkat SMA, STM, SMEA, SMK)
3. Pegawai setingkat pekerja/analis (setingkat D1-D3)
4. Pegawai setingkat Penyelia/Supervisor (setingkat S1 atau D3 pengalaman)
5. Pegawai karakteristik staff
6. Pegawai setingkat pejabat fungsional
7. Pegawai setingkat pejabat struktural

Arah
1. Calon bidang operasional administratif
2. Calon bidang operasional layanan
3. Calon bidang operasional peralatan
4. Tenaga manajemen operasional
5. Tenaga manajemen perencana
6. Tenaga manajemen pengambil keputusan

Standar Prosedur 100 peserta (Model SA 100)
Struktur organisasi telah membakukan legalitas posisi jabatan
1. Persiapan
a. Pendataan
b. Kategorisasi
c. Analisis Kriteria
2. Pelaksanaan
a. Penyiapan materi, tempat, waktu dan assesor
b. Pelaksanaan assessment dipandu minimal 2 Psikolog
c. Skoring
d. Pengolahan Data & Analisa
e. Psikodiagnosis
f. Rekapitulasi, rangking dan koreksi
g. Kaji Ulang & Diskusi
h. Penyusunan Laporan
3. Penyelesaian
a. Penyerahan Laporan
b. Diskusi, Umpanbalik & Sumbang Saran

Standar Prosedur 100 peserta (Model SB 100)
Belum ada legalitas posisi jabatan dalam struktur organisasi
1. Persiapan
a. Pendataan
b. Klarifikasi
c. Observasi Kriteria
2. Pelaksanaan
a. Penyiapan materi, tempat, waktu dan assesor
b. Pelaksanaan assessment dipandu minimal 2 Psikolog
c. Skoring & Pembobotan
d. Pengolahan Data & Standarisasi
e. Psikodiagnosis
f. Rekapitulasi & Prediksi
g. Kaji Ulang & Diskusi
h. Penyusunan Laporan
3. Penyelesaian
a. Penyerahan Laporan
b. Diskusi, Umpanbalik & Sumbang Saran

Format Laporan, Biaya & Durasi Pemrosesan
Kami mengepankan masalah privasi dan confidentiality pengguna karena pertimbangan diferensiasi pemahaman yang cenderung berbeda untuk tiap unit instansi, institusi atau organisasi, sehingga menawarkan sejumlah akses kemudahan dalam mengkomunikasikan hasil-hasil assessment dalam bentuk variasi format model laporan assessment guna menghindari misperception dan misinterpreted dikalangan pengguna.
Manfaat lain dari pemilihan model laporan adalah berkaitan erat dengan tujuan implementasi assessment dari pengguna termasuk didalamnya masalah efisisensi waktu dan biaya serta efektivitas assessment yang diharapkan pengguna dari segi kepraktisan dan aplikatif. Oleh karena itu, standarisasi format laporan, biaya dan durasi pemrosesan yang telah kami miliki untuk Personal Assessment dengan estimasi 100 peserta adalah sebagai berikut:

1. Model Peringkat
Rp. 115.000/peserta dengan durasi 7 hari efektif kerja/100 peserta
Merupakan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk peringkat atau rangking sekelompok kandidat berkaitan dengan pengukuran kompetensi yang telah dilakukan. Model peringkat memperlihatkan besaran kualifikasi kompetensi antara kandidat dengan posisi yang diperlukan secara kuantitatif dan objektif sehingga peluang kandidat dalam memenuhi kriteria kompetensi posisi jabatan dapat terlihat secara global dari keseluruhan kandidat yang tersedia. Berguna untuk mengambil keputusan yang cepat dalam menentukan kandidat yang paling mendekati indikator kesesuaiannya dengan kompetensi posisi secara general.
2. Model Analisa Faktor
Rp. 165.00/peserta dengan durasi 12 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk uraian singkat pada bobot-bobot potensi psikologi sebagai indikator kunci kriteria sukses dalam memenuhi kualifikasi kompetensi jabatan. Informasi psikologi singkat demikian bermanfaat untuk memperoleh gambaran faktor kepribadian seorang kandidat secara parsial yang dinilai sebagai inti dari kriteria suskes pekerjaan. Sangat berguna apabila populasi kandidat memperlihatkan kesetaraan dalam berbagai kualifikasi kompetensi dalam kriteria sukses pekerjaan.
3. Model Profil
Rp. 225.000/peserta dengan durasi 15 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk profil sehingga dapat diamati dengan mudah kecenderungan kompetensi serta kepribadian kandidat ybs. Walaupun tidak memperlihatkan pembobotan nilai kuantitatif, namun secara jelas akan tergambar “sosok/bentuk/profil” kandidat berkaitan dengan dinamika kompetensi dan kepribadiannya sehingga kompetensi kandidat dapat dengan mudah diperbandingkan dengan sejumlah kandidat lain, baik dari segi kompetensi generik maupun spesifik.
4. Model Psikodiagnostik
Rp. 305.000/peserta dengan durasi 22 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk psikodiagnostik melalui lembar psikogram sehingga secara detail aspek-aspek kompetensi atau faktor psikologis yang diassess terlihat dengan nyata. Dalam psikogram, dilampirkan ulasan singkat tentang dinamika kepribadian kandidat ybs dari sudut pandang individu dalam kaitannya dengan pola perilaku yang rawan maupun potensial untuk mencapai kriteria sukses pekerjaan. Sangat bermanfaat untuk membuat suatu formasi kekuatan SDM dan pengembangannya dalam suatu jalur karir apabila profile jabatan telah tersedia.
5. Model Klinis
Rp. 300.000/peserta dengan durasi 30 hari efektif kerja/100 peserta
Kombinasi & modifikasi data hasil assessment yang lebih berorientasi pada uraian dinamika kepribadian seorang kandidat secara keseluruhan dan mendetail. Ulasan yang disajikan menyangkut kecenderungan, gambaran watak khas, diagnosis simptomatis dan prognosis yang lebih bersifat klinis. Lebih diarahkan untuk tindakan konseling, treatment atau terapi karena sifat assessment yang cenderung kasuistis. Efektif digunakan untuk membantu pegawai atau mahasiswa yang diduga dan diprediksikan mengalami overproblematik, abnormalitas perilaku dan gangguan mentalitas (potensi psikoneurotik).
INFORMASI :
Tika 022-76620480

CONTROVERSIES IN MASS MEDIA

THE GOOD NEWS IS NOT NEWS, THE BAD NEWS IS GOOD TO NEWS
Pemuatan liputan berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh media massa seringkali menimbulkan perdebatan serius yang berkepanjangan. Berita kekerasan yang menjadi topik liputan dan dibeberkan oleh media massa dinilai memberi efek yang cukup signifikans terhadap terbentuknya perilaku kekerasan masyarakat. Sebagaimana diungkap dalam teori desensitization, liputan kekerasan oleh media massa secara luas tidak hanya mendorong individu menjadi tampak berperilaku keras, akan tetapi juga memperlihatkan indikasi bahwa toleransi masyarakat terhadap perilaku antisosial relatif lebih meningkat. Para kritikus media menilai bahwa media massa mempunyai andil atas terjadinya desensistization kekerasan (kurang sensitifnya terhadap kekerasan) dan harus bertanggungjawab untuk hal tersebut. Akan tetapi orang-orang media, khususnya insan film dan televisi, memberi tanggapan bahwa desensitization dapat diatasi apabila media massa justru mengungkap peristiwa kekerasan dengan apa adanya untuk menggambarkan peristiwa yang senyatanya. Mereka menjelaskan bahwa cukup banyak alternatif pemaparan kekerasan oleh media massa, termasuk didalamnya cara pengungkapan kekerasan yang mungkin berbeda dengan kondisi senyatanya, akan tetapi para audiens justru mempertanyakan aktualitas fakta yang sesungguhnya terjadi. Lagi pula, berita kekerasan seringkali ditayangkan dalam bentuk sebuah jeda sekuens ditengah-tengah acara lain, sehingga dapat dianggap sebagai berita sepintas saja.
Tentu saja, para kritikus media menilai tanggapan tersebut kurang memuaskan karena orang-orang media dinilai mendasarkan alternatif penayangan berita kekerasan tidak bertolak dari bagaimana agar pilihan mereka tersebut dapat menurunkan kemungkinan kekerasaan oleh masyarakat. Oleh karena itu liputan kekerasan yang ditayangkan oleh media massa tetap dianggap menjadikan para audiens sebagai korban berita karena mereka dikendalikan oleh media massa untuk menjadi berperilaku keras. Walaupun demikian, para kritikus media menyadari bahwa masalah demikian identik dengan pertanyaan mana yang lebih dahulu terjadi; telur atau ayam; sehingga memandang bahwa media massa tidak berada dalam posisi yang sengaja menggunakan teori desensitization untuk meningkatkan kekerasan dengan tayangan liputan mereka. Akan tetapi para kritikus media tetap menilai bahwa media massa memberikan andil terbentuknya kekerasan dalam masyarakat karena tayangan liputan tersebut mendorong masyarakat menjadi kurang sensitif terhadap kekerasan (desensitization); sehingga menuntut media massa untuk mencari alternatif penayangan berita guna menurunkan tingkat kekerasan oleh masyarakat.
Seorang ahli George Gerbner juga tak luput dari semacam kekhawatiran tentang pemuatan berita kekerasan oleh media massa. Tercatat bahwa dia merupakan seorang ahli yang paling lama melakukan kegiatan penelitian tentang berita kekerasan dalam media massa dibanding dengan para ahli lain. Pada tahun 1967, Gerbner dengan para koleganya dari Universitas Pennsylvania membuat indeks kekerasan yang ditayangkan televisi dan dengan cara demikian ia mulai menghitung tindak kekerasan yang terjadi. Ia melakukan semua kegiatan tersebut hampir selama tiga dekade. Gerbner memperoleh catatan hitungan bahwa anak-anak Amerika dengan usia sekitar 18 tahunan telah melihat 32.000 berita atau adegan pembunuhan serta 40.000 usaha percobaan pembunuhan melalui tayangan televisi dirumah. Masih dengan pandangan yang meragukan, terdapat berita baik dari hasil pengamatan tesebut yang menyatakan bahwa kebanyakan dari mereka juga merasa takut dengan efek pengaruh kekerasan yang disajikan oleh media televisi. Gerbner dengan indeks yang telah dikonstruksinya telah menemukan tidak adanya signifikansi (keberartian) perubahan dalam jumlah kekerasan sejak pertengahan tahun 1970an. Ini barangkali merupakan sebuah hasil penyelidikan yang dapat dianggap lebih dari cukup.
Gerbner kemudian mengajukan sebuah teori bahwa kekerasan dalam media mempunyai efek pengaruh negatif bagi masyarakat, akan tetapi ia menyebutnya sebagai sebuah “sindrom memaknakan dunia”; sehingga lebih bergantung dari sisi orang sebagai audiens yang melihat tayangan kekerasan. Gerbner melihat bahwa orang akan menjadi lebih terekspose dengan kekerasan pada permasalahan cara memandang sebuah dunia sekitar yang dialaminya, yang menempatkan suatu situasi dianggap menjadi lebih berbahaya dari kenyataan situasi sesungguhnya, setelah seringkali melihat tayangan kekerasan. Selain itu, orang pun akan menjadi lebih terbuka untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan diri pribadinya, sehingga menjadi terdorong untuk berkeinginan agar aparat kepolisian mampu menjamin keamanan dan keselamatan pribadinya. Secara tidak disadari, pemikiran kebanyakan orang yang sedemikian rupa membawa konsekuensi bahwa kebebasan dan keterbukaan masyarakat mereka tetap menginginkan sesuatu yang bersifat protektif sehingga secara sekaligus dapat membatasi kebebasan mereka pula. Kisah-kisah sepak terjang aparat kepolisian yang berjuang keras memerangi kejahatan tampaknya kemudian menjadi sebuah nilai yang paling mengemuka dalam gaya hidup Amerika.
Sejumlah konglomerasi perusahaan secara global kemudian menempuh kebijakan untuk menggunakan trend media demikian yang berdasar dari gaya hidup Amerika tersebut dengan tujuan memasarkan produk-produk mereka, baik melalui tayangan program televisi, musik atau mengkreasi adegan film tersendiri. Mereka memandang bahwa kekerasan merupakan sebuah topik yang paling mengemuka, dalam arti sangat populer untuk disukai masyarakat, dan mereka menggunakannya untuk memasarkan produk-produk mereka. Lagi pula, tayangan kekerasan oleh media dianggap hanya memerlukan ongkos produksi yang relatif murah. Gerbner juga menemukan adanya faktor indeks penunjuk yang menyebutkan pemahaman kekerasan dalam suatu medai tanpa perlu mempersoalkan konteks dari isi yang dikomunikasikan oleh media bersangkutan. Film-film seperti putusnya kepala Bugs Bunny diperhitungkan dengan anggapan yang sama sebagai sebuah bentuk adegan kekerasan oleh audiens sebagaimana adegan yang seringkali ditemukan dalam film Rambo. Dengan kata lain, bahwa kualitas isi tayangan film kartun tersebut dianggap memiliki derajat kekerasan yang relatif sama dengan film Rambo pahlawan USA dalam perang Vietnam yang tangguh menghabisi musuh-musuhnya. Demikian pula dengan pelototan mata serta gebukan trio komedi Three Stooges dapat diperhitungkan sebagai sebuah tindakan kekerasan oleh audiens. Dari temuan penyelidikannya Gerbner memperoleh gambaran bahwa terdapat bukti-bukti yang diperlukan untuk membuat titik tolak yang mendasar dalam mengukur sebuah tindakan kekerasan yang ditayangkan oleh media televisi.
Pengamatan Gerbner tampaknya identik dengan teori yang dikemukakan dalam model DeFleur yang melihat sumber (sources), pemancar (transmitter), penerima (receiver), dan sasaran (destination) sebagai fase-fase yang terpisah dalam proses komunikasi massa. Oleh karena itu Source dan transmitter adalah dua fase atau dua fungsi yang berbeda dalam menyatakan makna denotatif dan konotatif (merumuskan makna ke dalam pesan) dan kemudian mengubahnya menjadi peristiwa yang dapat dipersepsi sebagai rangsangan sebagaimana khalayak pada umumnya. Fungsi receiver dalam model DeFleur adalah menerima informasi dan menyandi baik; mengubah peristiwa fisik informasi menjadi pesan (sistem simbol yang signifikans). Menurut DeFleur, komunikasi bukanlah lagi dapat dipandang sebagai pemindahan makna. Karena komunikasi terjadi lewat operasi seperangkat komponen dalam sebuah sistem teoretis, dengan sendirinya memiliki konsekuensi munculnya isomorfism (isomorphism) diantara respon inetrnal (makna) terhadap seperangkat simbol tertentu pada pihak pengirim dan penerima. Isomorfisme makna merujuk pada upaya membuat makna terkoordinasikan antara pengirim dan khalayak, sehingga hasil dari pemaknaan yang terbentuk dengan sendirinya cenderung berubah-ubah. Penjabaran komunikasi secara demikian menunjukkan adanya keserupaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Tim Buell yang meyakini bahwa media massa, terutama televisi, memberitahu khalayak tidak hanya tentang apa yang mereka pikirkan, akan tetapi juga menitikberatkan pada realitas dengan segala sesuatu hal yang orang lain pikirkan menurut dugaan dan pandangan mereka sendiri.
Hal serupa juga pernah diungkapkan dalam model uses & gratifications yang memperlihatkan bahwa fokus utama permasalahan dalam komunikasi media massa bukanlah pada bagaimana medai mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi pada bagaimana media telah memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi sentral permasalahannya pada bobot khalayak yang aktif dan sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus. Dalam asumsi ini, Blummer hendak mengajukan pengertian yang tersirat bahwa komunikasi massa mempunyai kegunaan (utility), bahwa konsumsi media diarahkan oleh motif secara selektif (selectivity) dan bahwa khalayak sebenarnya kepala batu (stubborn). Penggunaan media massa hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, karena efek media dinilai sebagai situasi ketika kebutuhan itu menjadi terpenuhi. Efek media dapat dioperasionalkan sebagai evaluasi kemampuan medai untuk memberikan kepuasan, sehingga isi media massa memberi efek yang bergantung untuk tujuan informasi dan sebagai pengetahuan, yang keseluruhannya berpulang kepada proses kognitif dan persepsi serta pemaknaan atau isomorfism khalayak sebagaimana telah dijabarkan dalam konsep model komunikasi DeFleur.

PERSONAL ASSESSMENT

Personal Assessment
Merupakan salah satu kegiatan evaluasi psikologi yang bertujuan menggali potensi SDM secara individual dalam kaitannya dengan pekerjaan. Melalui jasa ini dapat diperoleh gambaran secara khusus tentang kelebihan/ kekuatan maupun kelemahan SDM. Data psikologis yang diperoleh akan sangat besar manfaatnya guna menunjang efektivitas penempatan, mutasi, pelatihan dan pengembangan, serta penentuan jenjang karir. Secara garis besar, Pemetaan kompetensi melalui Personal Assessment ( psikotes) akan mengeksplorasi kepribadian meliputi lima aspek utama:
Ø Fungsi Kecerdasan ( Kognisi)
Ø Fungsi Sikap Kerja ( Motivasi & Prestasi)
Ø Fungsi EmosiØ Fungsi Interaksi
Ø Kepemimpinan

Tujuan
1. Memperoleh tenaga kerja yang berpotensi tinggi dan dapat diandalkan
2. Memilih dan memilah tenaga kerja yang berpotensi tinggi secara bergradasi
3. Memperoleh tenaga kerja berpotensi tinggi yang berkarakteristik relatif sama dengan karakteristik posisi jabatan

Kegunaan
1. Memperoleh gambaran kekuatan SDM dalam organisasi perusahaan baik secara individual, kelompok, sektoral maupun keseluruhan
2. Merupakan kerangka acuan untuk membuat konstelasi formasi SDM yang kohesif, sinergi dan andal
3. Memperoleh informasi tentang karakteristik potensial tiap-tiap SDM
4. Sebagai informasi untuk memprediksikan & memproyeksikan potensi SDM dimasa mendatang

Sasaran
1. Pegawai setingkat pesuruh/ kurir/ upas ( setara SD – SMP)
2. Pegawai setingkat pelaksana/ operator ( setingkat SMA, STM, SMEA, SMK)
3. Pegawai setingkat pekerja/ analis ( setingkat D1-D3)
4. Pegawai setingkat Penyelia/ Supervisor ( setingkat S1 atau D3 pengalaman)
5. Pegawai karakteristik staff
6. Pegawai setingkat pejabat fungsional
7. Pegawai setingkat pejabat struktural

Arah
1. Calon bidang operasional administratif
2. Calon bidang operasional layanan
3. Calon bidang operasional peralatan
4. Tenaga manajemen operasional
5. Tenaga manajemen perencana
6. Tenaga manajemen pengambil keputusan

PARENTAL SUPPORT PADA MASYARAKAT INDUSTRI & NON INDUSTRI

Studi Perbandingan Support Orangtua terhadap Status Identitas Area Pekerjaan pada Remaja Masyarakat Berdimensi Industri dan Nonindustri
Abstract
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh bukti-bukti empirik mengenai support orangtua sebagai social support utama atas pencapaian identitas remaja pada area pekerjaan dari dua komunitas kemasyarakatan yang berlainan, yakni masyarakat Industri dan Nonindustri. Menurut Marcia (1983), berdasar paradigma Bowlby (1969) tentang model attachment-exploration, menyatakan bahwa keberhasilan seseorang mencapai identitas berangkat dari keberhasilan usia masa bayi ketika bereksplorasi terhadap lingkungannya. Hal ini bergantung pada bentuk dan kekuatan attachment yang ditampilkan orangtua, sehingga tercapainya identitas pada masa remaja akan didasarkan atas adanya kepercayaan akan adanya support orangtua, a sense of industry (perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan) dan orientasi masa depan. Ketiga variabel tersebut dinyatakan berhubungan secara hierarkis, dan percaya akan adanya support orangtua menjadi dasar bagi efektivitas yang kondusif atas berlangsungnya dua variabel yang lain; yakni sense of industry dan orientasi masa depan.
Penelitian lebih difokuskan pada studi analisis komparatif tentang kontribusi dua konteks sosial dimensi masyarakat tersebut. Nilai-nilai potensial dalam konteks sosial kedua dimensi itu diduga berkaitan erat dengan nilai dan orientasi orangtua dalam mengintroyeksi anak-anaknya menetapkan peran karirnya di masa depan. Konsep pencapaian identitas dalam area pekerjaan (vocational identity) yang dipergunakan sebagai acuan penelitian ini bertolak dari teori James F. Marcia tentang Ego Identity. Dari konsep eksplorasi dan komitmen, Marcia mengajukan suatu gambaran 4 (empat) status identitas yang dapat dicapai seorang anak yaitu Identity Achievement, Moratorium, Foreclosure dan Identity Diffusion. Penelitian ini hanya membatasi pada area pekerjaan saja, dengan fokus penela’ahan sebuah mekanisme proses industrialisasi yang ditengarai akan mengimbas support orangtua yang secara teoretik dinyatakan memberi kontribusi terhadap capaian status identitas anak. Studi ini juga membatasi pada penelusuran aspek eksplorasi dan komitmen saja dengan alasan belum diperoleh batasan normatif tentang keempat kuadran status identitas tersebut yang dapat didefinisikan dalam penjabaran statistik.
Penelitian dilakukan di Kawasan Industri Baja Kodya Cilegon dan Kawasan Banten Lama Kab. Serang dengan penarikan sampel melalui Two Stage Cluster serta diperoleh 124 responden dimensi Industri dan 93 responden dimensi Nonindustri yang memenuhi karakteristik sampel. Identifikasi masyarakat Industri dan Nonindustri secara teoretik diasses dengan menggunakan Behavior Setting Survey dari Barker & Wright (1963); disamping menerapkan kriteria-kriteria dari Dinas Kependudukan setempat (cq. DPWTK). Dua populasi yang berbeda itu menunjukkan uji kesamaan varians secara statistik sebesar Fhit 1.31 <> c20.95(5) =11.1 dan secara statistik menunjukkan ada keterkaitan faktor secara asosiatif antara dimensi masyarakat Industri-Nonindustri, support orangtua dan tinggi rendahnya eksplorasi dan komitmen. Temuan lain adalah kecenderungan yang lebih kuat dari support orangtua dalam masyarakat Nonindustri, dibanding dari masyarakat Industri melalui uji dua rata-rata satu pihak thit –2.08 < 215 =" 1.64." z1 =" 0.105" z2 =" 0.217)," zeks1 =" -0.070" zeks2 =" 0.213)," zkom1 =" 0.387"> Zkom2 = 0.037).
1. Pendahuluan
Tanpa bermaksud menafikan sikap pro dan kontra tentang isu otonomi daerah, rata-rata daerah yang berhasrat kuat untuk memperoleh otorisasi kebijakan demikian adalah daerah yang kaya sumber daya alamnya namun tidak terlihat kekayaan SDM-nya; seperti wilayah Aceh, Riau, Banten, Timor (NTT-NTB) dan Irian Jaya. Wilayah-wilayah ini memang strategis dari aspek sumber devisa negara karena begitu banyak menghasilkan hasil bumi, yakni tambang LNG, minyak bumi, emas dan tembaga, namun rata-rata SDM nya adalah kaum pendatang; bukan “masyarakat pribumi”. Tidaklah mengherankan jika suatu saat akan terjadi kerusuhan sosial di sektor industri hasil bumi ini karena faktor kesenjangan, penerimaan, kecemburuan dan prasangka sosial. Beberapa kejadian yang mengemuka adalah unjuk rasa dan pendudukan kaum “pribumi” Banten di sektor-sektor industri Krakatau Steel, pemblokiran kaum “Melayu Asli” atas kompleks dan areal produksi Pertamina dan Caltex, pembuatan pagar betis masyarakat “asli” setempat terhadap Newmount di Lombok dan FreePort di Tembagapura. Akar permasalahan yang sering terungkap yaitu ketidakadilan, karena warga asli merasa diperlakukan diskriminatif dalam memperoleh kesempatan bekerja, sehingga industrialisasi pun dinilai sebagai penyingkiran warga sekitarnya dengan menghadirkan kaum pendatang.
Dari studi banding yang pernah dilakukan lintas sektoral, rata-rata industri demikian hanya menyerap 15-25% SDM penduduk “asli pribumi”, selebihnya pendatang. Alasan klasik pihak manajemen, pada kenyataannya SDM penduduk lokal tidak memenuhi kualifikasi jabatan yang dibutuhkan sehingga dinilai tidak cukup kapabel dan kompeten membidangi pekerjaan di sektor-sektor industri semacam demikian. Alasan itu sebenarnya sangat riil sebagai konsekuensi logis sangat minimnya institusi pendidikan di wilayah setempat. Selain itu, juga cara hidup dan kebiasaan penduduk asli setempat yang tidak representatif dengan kehidupan modern yang padat dengan penggunaan teknologi informasi. Terlebih lagi bahwa perkembangan teknologi ternyata jauh lebih pesat dari tahap tugas perkembangan manusia, sehingga para penduduk asli bisa kesulitan untuk mengubah dan beradaptasi jika terlibat dalam kehidupan industri.
Fenomena yang sering terjadi pada penduduk asli setempat yang bekerja di sektor industri demikian adalah terhambatnya karir jabatan akibat stagnasi penguasaan ketrampilan dan manajerial, persepsi yang keliru terhadap fungsi-fungsi supervisi manajemen dan munculnya prasangka sosial terhadap kebijakan perusahaan. Karena rendahnya tingkat pendidikan dan juga mutu belajar, seseorang menjadi kurang cakap menguasai berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam tingkat selanjutnya. Fungsi supervisi manajemen dalam pembagian tugas, kewajiban dan tanggungjawab sering disalahtafsirkan sebagai kesewenang-wenangan dan kecongkakan. Perluasan areal kepabrikan dan pengembangan industri sering dicurigai sebagai kanibalisme wilayah pemukiman penduduk setempat. Semua fenomena itu diyakini bermula dari adanya benturan nilai dan norma dalam dunia industri dan nonindustri.
Gary M. Ingersoll (1989, hal. 182-183), menyatakan bahwa sebuah mekanisme proses industrialisasi akan menyebabkan anak-anak muda; baik pria maupun wanita harus bertindak dengan segera untuk memulai memainkan peran karir pekerjaannya (vocational roles) lebih awal dari masa yang seharusnya, yakni sekitar permulaan usia antara 12 – 14 tahun. Seorang anak muda dalam usia masa tersebut tidak akan begitu banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan peran-peran karirnya, karena usaha-usaha demikian lebih banyak didominasi oleh pendiktean orangtua mereka masing-masing. Kasus nasional tentang Great Depression yang pernah melanda pekerja-pekerja remaja di US sekitar tahun 1930-1950 merupakan sebuah bukti ketidakberhasilan remaja setempat mencapai status identitas area pekerjaan (vocational identity) sehingga mengalami maladjustment ketika harus menyesuai dengan mekanisme industrialisasi yang memberi dampak perubahan sangat dramatis (John Coleman, 1978 dalam Laurence Steinberg (1993) dan 1976 dalam Gary M. Ingersoll (1989). Eli Ginsberg (1951, dalam Gary M. Ingersoll, hal. 191-192) menyatakan bahwa remaja saat itu akan dihadapkan pada tekanan ekonomi, sosial dan lingkungan saat mencari bentuk kompromi antara aspirasi tujuan karirnya dengan realitas yang ada. Remaja akan berhasil melewati tekanan-tekanan semacam ini, bila ia mendapatkan katalisator yang cukup yakni pemenuhan karakteristik emosional (emotional characteristic) dan pembentukan nilai-nilai pribadi (personal values).
Untuk mengantisipasi persoalan SDM dalam otonomi daerah yang cenderung sangat antusias mengotonomikan industri-industri semacam itu, tidak sekedar diperlukan akselerasi upaya-upaya program pendidikan guna peningkatan SDM. Namun yang lebih penting, ialah mempersiapkan putra-putra daerah yang konon dikabarkan lebih berhak untuk menentukan masa depan sektor usaha dan industri di daerahnya masing-masing. Bukti kongkrit yang saat ini ditemukan, setelah hampir seperempat abad industri tersebut dioperasionalisasikan, proporsi SDM warga asli yang bekerja di sektor itu relatif tetap pada kisaran 15-25% dari total jumlah pekerja; selebihnya masih didominasi kaum pendatang. Yang lebih memprihatinkan, jabatan pimpinan puncak dan madya yang berkisar hanya 10-15% dari populasi pekerja, hampir 90% didominasi kaum pendatang. Ada fenomena yang relatif sama di wilayah-wilayah pengembangan kawasan industri besar seperti itu yakni, baik kaum tua (orangtua dan orang dewasa) maupun kaum muda (anak dan remaja) penduduk setempat ternyata belum cukup mampu unjuk gigi. Bahkan kebanyakan dari mereka pada akhirnya memperoleh pekerjaan yang tidak tetap, tidak prospektif dan tersingkir menjadi kaum pinggiran bahkan menganggur.
Dari fenomena tersebut di atas diyakini bahwa kontribusi pengasuhan orangtua dan pembinaan dari keluarga serta pendidikan formal masyarakat nonindustri belum cukup mampu mempersiapkan putra-putra daerah untuk menghadapi dampak perubahan industrialisasi, meskipun industrialisasi telah beroperasi selama hampir seperempat abad. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pembinaan generasi muda untuk memberdayakan SDM putra daerah secara nyata; khususnya untuk mengantisipasi realisasi otonomi daerah dalam waktu dekat ini. Melalui studi ini, efektivitas dan karakteristik support orangtua antara masyarakat dimensi Industri dan Nonindustri dalam membentuk perkembangan anak remaja bisa diketahui; khususnya yang berkaitan dengan identitas dirinya dalam memasuki dunia industri. Dengan demikian, ancangan program sosialisasi pemberdayaan SDM putra daerah dapat direalisasikan secara lebih cepat dan tepat sasaran.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data-data mengenai pencapaian status identitas remaja pada area pekerjaan dari dimensi Industri Kawasan Industri Berat Kodya Cilegon dan dimensi Nonindustri Kawasan Banten Lama Kabupaten Serang. Adapun tujuan penelitian ini adalah mencari bukti-bukti empirik tentang hubungan support orangtua dan status identitas renaja melalui studi analisis komparatif tentang kontribusi support orangtua dari masyarakat berdimensi Industri dan Nonindustri. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan informasi lebih mendalam tentang karakteristik aspek-aspek lingkungan sosial yang dianggap paling efektif dan optimal berperan dalam mempengaruhi support orangtua sebagai sosial support utama atas pencapaian status identitas remaja area pekerjaan tiap dimensi.
Temuan-temuan demikian agaknya dapat dipandang sebagai masukan dan umpanbalik kepada tokoh pendidik dan pengajar, kalangan pemerintah dan kelompok usaha guna mengupayakan secara lebih efektif program peningkatan pendidikan, keahlian dan ketrampilan bagi putra daerah yang sejalan dengan program pengembangan sektor produksi, ekonomi, usaha dan perdagangan; khususnya dalam realisasi otonomi daerah. Artinya, program pemberdayaan SDM untuk tenaga kerja produktif yang kebanyakan remaja akhir, tidak lagi sekedar dibentuk menjadi tenaga kerja siap pakai, namun juga siap berwirausaha.

2. Identifikasi Masalah
Dalam pembentukan identitas remaja pada area pekerjaan, sistem nilai sosial tak dapat dipungkiri memberikan kontribusi nyata terhadap status identitas yang kelak harus dicapai remaja. Mengacu bahwa pencapaian status identitas remaja yang hendak diteliti berada pada area pekerjaan, maka proses dan karakteristik yang akan terbentuk dalam identitas tersebut sedikit banyak menggambarkan karakteristik lingkungan dan kehidupan masyarakat Industri dan Nonindustri. Karakteristik lingkungan dan kehidupan masyarakat yang diyakini sanggup memberi kontribusi terhadap pembentukan identitas remaja dalam studi ini diistilahkan dengan dimensi.
Dimensi Industri direpresentasikan oleh sebuah komunitas masyarakat dari kawasan industri berat yakni Kodya Cilegon; sedangkan dimensi Nonindustri direpresentasikan oleh komunitas masyarakat kawasan Banten Lama Kabupaten Serang. Merujuk dari uraian dan batasan tersebut di atas maka identifikasi masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1) Apakah terdapat hubungan antara support orangtua yang dipersepsi remaja dengan status identitas area pekerjaan dalam masyarakat dimensi Industri maupun Nonindustri ?
2) Apakah terdapat perbedaan antara support orangtua yang dipersepsi remaja dengan status identitas area pekerjaan dalam masyarakat berdimensi Industri dan Nonindustri?

3. Kerangka Teoretik
3.A. Dimensi Industri dan Nonindustri.
Menurut Inkeles dan Smith (1974) dalam analisis proyek lintas budaya dibidang sosial dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik diperoleh 4 (empat) karakteristik pola kebiasaan berperilaku individu dalam sebuah masyarakat berdimensi Industri sbb:
(1)Terbuka terhadap hal-hal baru dan bersedia memiliki pengalaman baru, mencakup didalamnya kesediaan untuk mengerjakan sesuatu dengan cara yang baru, seperti halnya perencanaan keluarga (KB) dan pengendalian kelahiran.
(2)Asertif dalam meningkatkan independensi dari figur otoritas tradisional, seperti orangtua atau tokoh masyarakat.
(3)Memiliki keyakinan sepenuhnya atas fungsi dan peran sebuah keilmuan dan medis, serta mengabaikan sikap pasrah (passivity) dan fatalistik bila menghadapi suatu kesulitan hidup.
(4)Menunjukkan ambisi kuat atas keberadaan pribadinya dan memacu anak-anaknya untuk mencapai tingkat prestasi tertinggi dalam bidang pendidikan dan pekerjaan.

Selain karakteristik tersebut, juga diungkapkan bahwa bidang pendidikan dinilai sebagai faktor yang terkuat dalam menentukan derajat modernisasi atas sikap, nilai dan perilaku sebuah masyarakat modern. Bahkan beberapa pendidikan mulai dikembangkan dengan spesifikasi khusus untuk memenuhi dunia kepabrikan atau industrialisasi; dan hal demikian dianggap memberi kontribusi paling kuat secara signifikan atas perubahan sikap yang modern. Karena fasilitas dan akomodasi program pendidikan memang telah diarahkan untuk tujuan industrialisasi, maka tak ada pilihan lain bagi orangtua untuk memberi support kepada anak-anaknya agar berprestasi di bidang tersebut.
Elisabeth Werner (1979 : 13-20) dalam temuan-temuan riset lintas budaya meyakini bahwa pola kebiasaan atau perilaku seseorang dipengaruhi oleh sifat populasi, geografis, sistem sosial, mata pencaharian dan karakteristik ketrampilan hidup, etnografi serta ekologi. Lerner (1983 : 68) juga mengungkapkan bahwa nilai-nilai tradisional yang bersifat kommunal dapat tergeser menjadi nilai-nilai praktis, efisiensi dan ekonomi; sehingga orang tidak perlu lagi membatasi diri dengan ruang dan waktu. Filosofi nilai kehidupan masyarakat tradisional mulai digantikan oleh pandangan ekonomi dan efisiensi yang pragmatis, begitu suatu wilayah pemukiman tersentuh oleh modernisasi dan pengembangan teknologi. Dari temuan tersebut dapat diyakini bahwa dimensi kehidupan masyarakat Industri dan Nonindustri akan berpengaruh pula pada pencapaian status identitas remaja. Sebuah dimensi Industri dengan masyarakat modern tentunya akan menawarkan sejumlah peluang dan kesempatan lapangan kerja yang begitu banyak; sebaliknya dimensi Nonindustri dengan masyarakat tradisional tidak begitu menawarkan sejumlah lapangan kerja yang bervariasi. Secara empirik, hal ini dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, fasilitas pendidikan, transportasi, informasi dan komunikasi serta pusat-pusat bisnis dan perdagangan yang lebih banyak dijumpai di dalam masyarakat modern berdimensi Industri daripada sebaliknya. Bila pola kebiasaan seseorang lebih dipengaruhi oleh konteks sosial maka pola pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga maupun pendidikan formal, cara pandang dan pemikiran orang tua serta identitas remaja pun banyak dipengaruhi oleh hal yang sama.
3.B. Support Orangtua
Menurut Marcia (1983) ada tiga variabel yang berperan membantu tercapainya identitas pada masa remaja akhir, yaitu percaya akan adanya support orangtua, a sense of industry (perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan) dan orientasi masa depan. Ketiga variabel tersebut dinyatakan berhubungan secara hierarkis, dan percaya akan adanya support orangtua menjadi dasar bagi efektivitas yang kondusif atas berlangsungnya dua variabel yang lain; yakni sense of industry dan orientasi masa depan. Apabila remaja telah memiliki rasa percaya bahwa orangtuanya akan memberi support maka individu yang bersangkutan akan mencapai suatu kondisi perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan; baik dari segi fisik, emosi dan afeksional serta konseptual. Selanjutnya, kondisi perasaan demikian akan terus berkembang dalam berbagai pengalaman hidup sepanjang waktu dalam rentang kehidupan remaja. Berangkat dari berbagai pengalaman kehidupannya yang selalu memperoleh perasaan nyaman dan tenang atas segala kemungkinan kesulitan hidup karena selalu percaya adanya support orangtua, membuat remaja mampu untuk membangun orientasi masa depannya kelak.
Support orangtua yang dikemukakan oleh Marcia didasarkan atas paradigma yang dijabarkan oleh Bowlby (1969) tentang model attachment-exploration, yang menyatakan bahwa keberhasilan bayi bereksplorasi bergantung pada bentuk dan kekuatan attachment yang ditampilkan orangtua. Disamping itu juga, support orangtua dianggap sebagai social support yang paling utama dan pertamakali dialami dan diterima anak. Dalam support orangtua pun lebih banyak diidentifikasikan mengandung substansi aspek struktural, maupun aspek fungsional sebagai sebuah integrasi aspek yang harus ada dalam social support. Kriteria utama social support diantaranya, keterikatan yang berarti (significant relationship) guna memberi jaminan support kepada seorang anak atau remaja dalam pembentukan identitas; terlepas bahwa keterikatan itu benar-benar ada atau tidak (exist & no exist) dan lebih banyak ditemukan pada figur otoritas keluarga, yakni orangtua (Power M.J., Champion L.A., Aris S. J., 1988 : 349-350).
Kriteria penting lain dalam social support yaitu adanya aspek fungsional yang menunjukkan support secara emosional maupun secara praktikal (emotional & practical support). Kriteria demikian menjelaskan bahwa sebuah social support haruslah secara empirik dapat dibuktikan dengan meninjau praktek perawatan dan pengasuhan anak kesehariannya (caring, nurturing, intimacy, attachment, guidance) dan didalamnya ada keterikatan dan keterlibatan emosional sangat kuat dan mendalam; yang lebih banyak dilakukan oleh orangtua daripada figur lain yang signifikan. Hal demikian juga pernah dilaporkan oleh Murphy and Moriarty (1976) dalam Sarason, Levine, Basham dan Sarason (1983) yang menyatakan bahwa interaksi anak dan orangtua dalam keluarga ternyata memberikan kontribusi anak dalam mencapai kecakapan bertanggungjawab, keberanian untuk memimpin dan ketahanan terhadap situasi stress.
Lebih lanjut Sandler (1980) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stress dan social support, sehingga anak yang kurang merasakan social support akan mengalami maladjustment. Henderson (1980), Ramsay, Barera, Sandler (1981) menemukan bahwa orang yang merasakan emotional support akan relatif mudah untuk melakukan problem solving; sehingga kepuasan atas adanya support yang dirasakan, dipersepsi dan diterima oleh anak lebih berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya lebih lanjut. Dan lingkungan yang dipersepsikan dan dirasakan paling memberi kepuasan adalah lingkungan keluarga, karena interaksi yang terjadi antara sesama anggota keluarga terjadi begitu saja secara alamiah (natural).
Hal demikian juga pernah ditegaskan dalam pandangan teori psikoanalisis bahwasanya remaja diasumsikan masih membutuhkan keberadaan orang dewasa yang lebih berpengalaman dalam kehidupannya. Kebutuhan remaja akan keberadaan orang dewasa untuk memperoleh support, dalam teori attachment adalah kebutuhan untuk mendapatkan dukungan sosial. Perlunya dukungan sosial semacam ini menggambarkan bahwa remaja membutuhkan keberadaan orang yang dapat diandalkan, seseorang yang selalu dipercaya memberikan kasih sayang, perhatian, perawatan dan penghargaan serta menerima dirinya dengan sepenuh hati (Bowlby dalam Sarason, 1983).
Selama remaja berinteraksi bersama dengan orangtuanya, seluruh pengalaman hidup diri individu yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai memasuki tahap masa remaja akan memperoleh peluang yang lebih besar dan lebih baik secara kualitatif untuk diinternalisasikan ke dalam pribadi remaja. Hasil dari internalisasi tersebut adalah persepsi remaja tentang nilai, norma dan perilaku figur orangtuanya selama memberikan support kepada dirinya. Oleh karena itu, percaya adanya support orangtua yang dikemukakan oleh Marcia menjadi sangat penting untuk dipersepsikan dalam alam pemikiran remaja; mengingat bahwa support orangtua adalah social support yang pertama dan utama. Sebab dengan adanya persepsi remaja atas support orangtua, maka individu yang bersangkutan akan mendapatkan rasa aman. Dengan adanya rasa aman maka remaja menjadi lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, terhadap berbagai alternatif bidang pekerjaan yang kelak menjadi pilihan karirnya, membandingkan kemampuan dirinya dengan kemampuan orang lain atas pilihan karir pekerjaannya. Apabila ia mampu memahami dan menghayati kelemahan dan keunggulan atas kemampuan serta potensi dirinya terhadap pilihan karir pekerjaannya, maka ia pun relatif lebih mudah untuk menyesuai terhadap kesulitan dan permasalahan yang sedang dan akan dihadapinya kelak. Dengan kata lain, ia dianggap cukup mampu menghadapi tantangan krisis identitas yang kemungkinan bisa menimpa dirinya. Remaja mampu bertindak realistis dan layak untuk menetapkan pilihan karir pekerjaan sesuai dengan kemampuan dirinya yang membedakannya dengan orang lain serta diterima oleh pandangan sosiobudaya serta memenuhi harapan dan tuntutan lingkup masyarakat tempat remaja dibesarkan.
Persoalan atas identitas bisa menjadi meluas, jika support orangtua ternyata tidak memberi kontribusi yang positif dan konstruktif dalam proses perkembangan anak dan pembentukan identitas remaja. Kontribusi positif adalah unsur-unsur pengasuhan, bimbingan, pendidikan dan keterikatan emosional yang bersifat kondusif untuk membentuk nilai dan norma kuat dalam keluarga tempat remaja membentuk identitasnya. Sedangkan kontribusi konstruktif lebih menyatakan fungsi dan peran orangtua untuk menjaga dan memelihara pribadi remaja selama proses perkembangan dan pembentukan identitas; sehingga anak relatif cepat menyesuai dengan sebuah perubahan atau kesulitan.
3.C. Pencapaian Identitas Area Pekerjaan (Vocational Identity).
Kegagalan remaja dalam mencapai status identitas di area pekerjaan (vocational identity) dapat menyebabkan remaja yang bersangkutan mengalami kebingungan guna memutuskan dan menentukan peran dan pilihan karirnya atas sebuah pekerjaan. Dalam sebuah kebingungan, remaja tidak akan mampu memahami dan menghayati potensi-potensi kecakapan dalam dirinya yang cocok dan sesuai dengan sebuah karir pekerjaan. Ia tidak cakap untuk memilih secara selektif atas satu jenis pekerjaan dari sekumpulan pekerjaan yang begitu banyak variasinya. Pilihan yang salah sanggup menggoyahkan kepribadiannya, karena remaja akan lebih banyak menjumpai ketidakpuasan dalam kehidupan karir atas pekerjaannya. Ketidakpuasan atas diri sendiri tersebut disebabkan ia tidak lagi mampu untuk beradapatasi dengan jenis pekerjaan yang telah ditetapkannya. Remaja demikian sangat berpotensi untuk menjadi pengangguran. Ia tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pribadi yang sulit menetapi sesuatu yang telah diputuskan atas pilihan karir pekerjaannya.
Agar seorang remaja tidak melakukan kesalahan dalam menetapkan pilihan karir pekerjaannya, maka pencapaian status identitas di area pekerjaan (vocational identity) merupakan hal yang esensial dan mutlak. Dengan membentuk identitas diri di bidang pekerjaaan, remaja memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk menguji, mengidentifikasi kembali dan merekognisikan keyakinan-keyakinan, pandangan, pemikiran, gagasan serta nilai-nilai yang telah dimilikinya untuk kepentingan memilih satu pilihan karir pekerjaan dari berbagai alternatif pekerjaan yang ada. Remaja harus mempersepsikan stimulus yang ada di lingkungannya, membangun persepsi atas dirinya sendiri yang berbeda dengan masa sebelumnya dan berbeda pula dengan orang lain. Karena identitas merupakan kerangka dasar pembentukan kepribadian maka remaja harus mencapai status identitas dengan optimal untuk membedakan identitas dirinya dengan identitas orang lain (Erikson dalam Marcia, 1983). Proses untuk menetapkan alternatif pilihan yang ada tidaklah semudah yang dibayangkan. Dengan banyaknya alternatif pilihan tersebut seringkali justru membuat remaja mengalami lack, yang membuat pribadinya makin bingung dan tidak tentu arah. Hal demikian yang sering digambarkan Erikson sebagai krisis identitas. Bila krisis identitas ini menimpa pribadinya saat ia harus menetapkan pilihan karir pekerjaannya sebagai tenaga kerja produktif, maka kebingungan tersebut justru akan menjerumuskan dirinya pada pekerjaan yang terasa asing bagi pribadinya.
Menurut Marcia (1980 : 159), identitas adalah struktur diri, suatu organisasi yang dinamis dari dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan, keyakinan-keyakinan yang terstruktur dengan sendirinya dalam diri individu sepanjang proses perkembangannya. Erikson dalam Cremers (1989 : 182) menegaskan, bahwa remaja yang berhasil mencapai identitas akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, tidak meragukan tentang identitas batinnya serta mengenal perannya dalam masyarakat, termasuk didalamnya peran karir pekerjaan yang sering diasosiasikan dengan opini tingkat pendidikan. Jika identitas tidak terbentuk mantap, individu menjadi kurang yakin pada kemampuan diri sendiri sehingga ia sulit melihat perbedaan dan persamaannya dengan orang lain. Akibatnya, remaja cenderung menjadi bergantung pada kemampuan orang lain kendati tingkat pendidikannya relatif tinggi dan dinilai potensial sebagai tenaga kerja produktif. Remaja demikian cenderung menunggu kesempatan kerja, bukan menciptakan pekerjaan, sehingga sangat potensial terperangkap sebagai pengangguran.
Marcia dalam Archer (1994 : 17) menyatakan bahwa konsep pembentukan identitas merupakan pengembangan konsep pemikiran Erikson. Menurutnya, Erikson yakin bahwa seseorang dapat mencapai identitas diri jika ia mampu membangun keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan harapan masyarakat tempat ia dibesarkan. Remaja harus pula membangun nilai-nilai dalam pribadinya sebagai dasar acuan pola perilaku sehubungan dengan pilihan karir pekerjaannya. Dan sesuatu yang telah dipilih dan ditetapkan remaja tersebut haruslah wajar dalam pandangan, harapan dan tuntutan masyarakat sehingga ia mampu menyesuai dengan realitas permasalahan masyarakat yang ada saat itu. Pencapaian status identitas di bidang pekerjaan hanya mungkin terjadi, apabila remaja sadar akan ciri-ciri khas pribadinya, seperti kesukaan dan ketidaksukannya, minat dan aspirasinya, tujuan masa depan yang diantisipasi dan direncanakan, perasaan bahwa ia dapat dan mampu mengatur orientasi hidupnya secara lebih mandiri. Bila remaja tidak realistis menentukan pilihan karir pekerjaannya, maka ancaman kegagalan atas karir pekerjaannya siap menghadang. Remaja demikian cukup berpotensi mengalami kebangkrutan dalam karir dunia dunia wirausaha, kendati ia dinilai sebagai tenaga terdidik dalam angkatan kerja.
Marcia (1966) mengemukakan bahwa dasar pembentukan identitas melalui dua buah proses, yakni eksplorasi dan komitmen. Eksplorasi mengarah pada keinginan untuk mempertimbangkan tujuan yang mungkin dicapai oleh individu pada masa mendatang. Komitmen menggambarkan sebagai sebuah ketetapan tingkahlaku Dalam identitas bidang pekerjaan, eksplorasi berkaitan dengan adanya usaha untuk mendalami dan mengetahui secara benar berbagai alternatif pekerjaan yang cocok dengan karakteristik pribadi dan potensi-potensinya guna meraih tujuan di masa datang. Sementara itu komitmen menggambarkan kekuatan dorongan, kemantapan hati serta kesesuaian cara berpikir dan bertindak atas pilihan karir pekerjaan yang telah dipertimbangkan untuk ditekuninya.
Berdasarkan kedua proses eksplorasi dan komitmen tersebut, Marcia (1966, 1980) menjabarkannya ke dalam 4 (empat) status identitas yang bisa dicapai individu. Keempat status identitas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Identity Achievement
Remaja yang telah mencapai status identitas ini adalah individu yang berhasil dengan baik menempuh periode eksplorasi untuk menetapkan berbagai alternatif pilihan yang ada serta telah berhasil membuat suatu komitmen kuat berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam diri mereka. Remaja yang mencapai status identitas demikian dapat dikatakan bahwa ia telah memiliki identitas diri.
2) Moratorium
Remaja dengan status identitas ini menunjukkan keberhasilan dalam periode eksplorasi yang telah dilaluinya, akan tetapi komitmen yang dibuat masih belum jelas benar dan samar-samar. Remaja yang berada dalam status identitas demikian biasanya masih berada dalam kecemasan yang nyata.
3) Foreclosure
Remaja dengan status identitas ini adalah individu yang hanya melakukan sedikit eksplorasi, akan tetapi telah menetapkan sebuah komitmen berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh pada masa anak. Lazimnya individu demikian menganut nilai-nilai otoritas, seperti nilai-nilai dari orangtua.
4) Identity Diffusion
Status identitas ini menggambarkan remaja yang tidak melakukan eksplorasi dan juga tidak membuat komitmen jelas dan mantap dalam kehidupan mereka. Pada umumnya keyakinan diri dari remaja dengan status identitas demikian relatif lebih mudah dipengaruhi orang lain dan terpengaruh oleh perubahan situasi yang cepat.
Jika seorang remaja dari dimensi Industri telah dianggap optimal mencapai status identitas di bidang pekerjaan dan ia mampu menetapkan pilihan karirnya secara realistis, maka bukan berarti bahwa remaja dari dimensi Nonindustri akan lebih baik atau lebih buruk dalam mencapai status identitas yang sama. Sebab hal yang paling esensial dan mendasar selama proses pembentukan identitas pada masa remaja akhir ini adalah terbentuknya identitas yang paling baik bagi dirinya sendiri dan dapat diterima oleh pandangan masyarakat serta memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat saat itu sejalan dengan perubahan sosiobudaya dan konteks sosial akibat perkembangan teknologi yang lebih cepat dari berjalannya periode waktu.
Kondisi demikian sangat potensial bagi remaja untuk terperangkap dalam krisis identitas, mengingat sebuah perubahan konteks sosial dan sosiobudaya akan berlangsung begitu cepat, drastis, tak terduga, krusial dan tidak kondusif bagi pembentukan identitas yang optimal. Kesadaran sepenuhnya atas cara-cara remaja dan orangtua untuk mengantisipasi dan mengatasi perubahan kondisi demikianlah, yang dianggap lebih penting untuk dikaji lebih mendalam dari perbedaan karakteristik kedua dimensi masyarakat tersebut.


4. Asumsi Penelitian
1) Perkembangan dan pembentukan identitas remaja dipengaruhi oleh perubahan konteks sosial dari sosiobudaya masyarakat tempat remaja tumbuh, berkembang dan dibesarkan.
2) Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah komunitas kemasyarakatan, sehingga nilai dan norma dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh nilai, norma dan beliefs systems sebuah komunitas masyarakat.
3) Pencapaian identitas remaja tidak lepas dari kontribusi pengaruh lingkungan keluarga terutama figur otoritas keluarga, yakni orangtua.
4) Support orangtua merupakan social support yang pertama kali dipersepsi dan diterima oleh seorang anak dalam proses perkembangan sepanjang sejarah kehidupannya; sehingga support orangtua merupakan support yang paling utama dan paling penting dalam social support.
5) Support orangtua juga merupakan introyeksi nilai-nilai dan norma keluarga kepada remaja selama proses pembentukan identitas sehingga persepsi remaja atas support orangtua merupakan hasil internalisasi pengalaman remaja selama berinteraksi dengan orangtuanya sejak dari masa kanak-kanak.
6) Pencapaian identitas remaja di area pekerjaan dipandang penting bagi penyesuaian diri di bidang pekerjaan agar ia mampu melewati masa krisis identitas yang tidak berkepanjangan.
7) Proses eksplorasi dan komitmen merupakan dasar dari pembentukan identitas seseorang.
8) Sosiobudaya yang berdimensi Industri adalah sebuah komunitas masyarakat yang menunjukkan karakteristik visual lingkungan fisik dan variabel struktur sosial yang bermuatan perkembangan teknologi, modernisasi dan industrialisasi.
9) Sosiobudaya yang berdimensi Nonindustri adalah sebuah komunitas masyarakat yang menunjukkan karakteristik visual lingkungan fisik dan variabel struktur sosial yang bermuatan agraris, niaga agraris dan transaksi tradisional.

5. Hipotesis Penelitian
1) Apakah terdapat hubungan antara support orangtua yang dipersepsi remaja dengan status identitas area pekerjaan dalam masyarakat dimensi Industri maupun Nonindustri?
2) Apakah terdapat perbedaan antara support orangtua yang dipersepsi remaja dengan status identitas area pekerjaan dalam masyarakat berdimensi Industri dan Nonindustri?
6. Metodologi Penelitian
6.A. Pendekatan (Approaches)
Penelitian ini dimulai dengan menggunakan pendekatan Etic yang memiliki karakteristik studi sebagai berikut: (1)Pengkajian perilaku dilakukan dengan mendudukkan posisi peneliti di luar sistem yang menjadi fokus topik penelitian.(2)Penjabaran dan perbandingan yang hendak dikaji, ditinjau dari beberapa aspek sosiobudaya masyarakat yang mungkin ikut terlibat. (3)Struktur penelitian dikembangkan dan dibentuk sendiri oleh peneliti sehingga pengontrolan variabel lebih mengacu pada kerangka konseptual dari dasar teori pengarah penelitian ini. Bila ada perbedaan antara konteks operasional dan konteks teoretik dalam sebuah variabel yang ditemukan di lapangan maka pertimbangan kerangka teoretik lebih diprioritaskan. (4)Kriteria studi dianalisis dan dijabarkan dalam konteks sosial yang lebih universal (teoretik), bukan mendasarkan pada lingkup karakteristik internal.
Metode survai digunakan untuk mengidentifikasi komunitas masyarakat berdimensi Industri dan Nonindustri; dengan cara melakukan analisis berdasarkan observasi sistematik dan penyebaran kuesioner atas target sampel. Observasi sistematik adalah prosedur pengambilan data melalui tindakan identifikasi dan pencatatan terhadap fakta atau temuan dengan dasar mengenali ciri-ciri atau karakteristik yang dimaksud sebagaimana yang dinyatakan dalam instrumen pengukuran sebagai parameternya. Adapun analisis yang akan dilaksanakan merupakan sebuah analisis komparatif atas variabel-variabel temuan penelitian yang secara teoretik dinyatakan berbeda karakteristiknya dalam kurun waktu relatif pendek (cross sectional studies).
6.B. Variabel-variabel (Variables).
Penelitian ini memiliki 4 (empat) variabel yakni masing-masing sebagai berikut:
1) Variabel terikat (Dependent Variable), yakni variabel yang bergantung keberadaan karakteristiknya disebabkan atau diakibatkan (causes) oleh variabel lain yang didentifikasi sebagai variabel bebas, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Variabel terikat (DV) penelitian adalah status identitas remaja area pekerjaan.
2) Variabel bebas (Independent Variable), yakni variabel yang diidentifikasi secara teoretik sebagai variabel paling bertanggungjawab atas keberadaan atau perubahan karakteristik variabel terikat; dan keberikatannya bisa bersifat penyebab, pemberi akibat atau bahkan pengubah karakteristik. Variabel bebas (IV) penelitian adalah support orangtua yang dipersepsi remaja berkaitan dengan pencapaian status identitas remaja area pekerjaan.
3) Variabel pengantara (IntermediateVariable), yakni variabel yang mengantarai peran variabel bebas dalam mengurangi, menghilangkan atau mengubah karakteristik variabel terikat; dan sifat pengantaran tersebut dapat merupakan kontak langsung secara korespondensi (menjembatani) atau tidak langsung (sebagai pemacu – trigger). Variabel pengantara (Im.V) penelitian adalah social support industrial pattern atau norma, nilai, sikap dan sistem keyakinan yang berlaku dalam konteks sosial pola perilaku masyarakat modern sebuah kawasan wilayah industri dan masyarakat tradisional dari sebuah kawasan yang bukan wilayah industri. Masyarakat modern sebuah kawasan wilayah industri yang dimaksud dalam penelitian ini dispesifikasikan sebagai orangtua yang bekerja di pabrik dan bertempat tinggal di Kawasan Industri Berat Kodya Cilegon. Sebaliknya, masyarakat tradisional dispesifikasikan sebagai orangtua bukan pekerja pabrik yang bertempat tinggal di Kawasan Banten Lama Kabupaten Serang.
4) Variabel intervensi (intervening variable), secara teoretik seringkali dianggap sebagai antecedents, yakni sebuah variabel yang relatif sama perannya dengan variabel pengantara namun memiliki karakteristik tambahan yakni sebagai latarbelakang dari berlangsungnya semua proses mekanisme interaksi seluruh variabel sehingga terjadi perubahan yang saling mempengaruhi, saling menyebabkan dan mengakibatkan. Detail karakteristik yang dipergunakan untuk mengidentifikasikan sebuah dimensi Industri-Nonindustri mengacu pada pandangan teoretik yang diungkapkan oleh Triandis, Malpass dan Davidson (1971), yakni sebagai berikut: (1)Lingkungan fisik yang mencakup iklim dan sumber daya yang tersedia, karakteristik visual yang ditampilkan sekumpulan masyarakat dalam area atau komunitas tertentu, produktivitas makanan dan penyakit-penyakit endemik.(2)Variabel struktur sosial, mencakup variabel demografi, seperti strata masyarakat, usia, jenis kelamin, tipe keluarga dan pola-pola interaktif anggota masyarakat antar kelompok. (3)Kecenderungan berperilaku dari kaum tua (orangtua, kakek-nenek, kelompok lanjut usia lain, guru, tokoh masyarakat) yang mencakup sikap, sistem, beliefs, motif dan nilai. (4)Perilaku verbal dan nonverbal parental yang mencakup aktivitas kebiasaan hidup sehari-hari oleh kelompok kaumtua. (5)Kecenderungan berperilaku kaum anak yang mencakup karakteristik sikap, sistem, beliefs, motif dan nilai dalam diri anak dan dapat diamati. (6)Perilaku verbal dan nonverbal kaum anak yang mencakup karakteristik aktivitas kebiasaan hidup sehari-hari oleh kelompok anak dan sebaya.