Rabu, 29 Juli 2009

KEMANDIRIAN PSIKOLOGI DARI FILSAFAT : Sebuah Kontemplasi

Sejak Wilhelm Wundt memperkenalkan hasil-hasil laboratoriumnya untuk menganalisis fungsi-fungsi psikologi dalam perilaku manusia, maka psikologi yang terdahulu dipandang dari bagian kajian filsafat telah diasumsikan menjadi displin ilmu yang berdiri sendiri. Cukup banyak para filsuf yang mendebat kemandirian psikologi sebagai sebuah ilmu. Mereka memandang bahwa usaha para ilmuwan menggunakan metodologi ilmiah dalam menela’ah psikologi merupakan sebuah tindakan spekulatif karena lebih mengandalkan pendekatan inderawi semata. Pemisahan diri psikologi dari induknya – filsafat; dianggap sebagai sebuah bentuk kesombongan dan kesemberonoan ilmuwan. Alasannya, bahwa psikologi lebih merupakan suatu sisi ontologi untuk mengenal manusia, bukanlah sesuatu yang sifatnya nyata sehingga usaha untuk mengetahui psikologi bukan berarti dapat dipandang dalam sisi epistimologi saja.
Kajian psikologi yang dianalogikan dengan keilmuan lain, seperti halnya ilmu pengetahuan alam (terutama fisika, kimia dan biologi), dianggap tidak memenuhi prinsip-prinsip kausalitas. Selain itu, pendalaman psikologi dalam pendekatan metode ilmiah dipandang masih mengundang kekaburan. Sebab proposisi yang dihasilkan didalamnya adalah produk inderawi yang telah pasti bersifat menipu (false). Selain itu penggunaan kerangka pemikiran dalam mengeksplorasi faktor fungsi-fungsi psikologi, tidak menggunakan kaidah-kaidah rasional sebagaimana aliran rasionalisme, atau objektivitas hasil laboratorium psikologi dianggap tidak benar-benar menegakkan kaidah-kaidah aliran empirisme atau objektivisme. Banyak filsuf menengarai bahwa temuan dalam hasil laboratorium psikologi adalah sebuah aksidental, sehingga lebih bisa diterima sebagai sekumpulan aksioma saja !
Namun merujuk pada tulisan Herman Soewardi (1999) dalam buku Roda Berputar Dunia Bergulir yang menyiratkan adanya distribusi tugas dari masing-masing kontribusi filsafat dan sains empirikal, maka kritik para filsuf tersebut akan menemukan suatu dialektis yang bersifat kompromistis. Filsafat dapat dipandang sebagai sebuah usaha kontemplasi dalam rangka menjelaskan jagat raya, sementara penemuan ilmiah dari sains empirikal sebagai sebuah alat-alat rasional untuk mengungkap realita jagat raya dapat disikapi sebagai sebuah premis intelektualisme. Artinya untuk sementara waktu pandangan tersebut dapa dianggap telah cukup memenuhi kaidah ratio sufficient, sebagaimana kaidah logika formal Aristoteles dalam menjabarkan falsafah keilmuan sebagai sebuah “ilmu’.
Alam dua orang bisa berbeda, meski lebih banyak bersifat konformistis; akan tetapi dunia satu orang pun tak akan mungkin pernah sama. Apabila ilmu psikologi akan mengulas fungsi-fungsi psikologis manusia, orang yang bagaimanakah yang pertama kali akan dianalisis dalam metodologi ilmiah? Kita bisa mengalami dunia seseorang, namun kita takkan pernah bisa menduniakan alam seseorang. Kaki yang terantuk batu akan membuat orang jatuh, namun untuk batu yang sama orang yang lain tidak akan terjatuh. Pada saat gelap gulita kita masih bisa leluasa berjalan-jalan di rumah kita. Tetapi pada saat lampu mati di rumah orang lain kita takkan pernah bisa melangkahkan kaki. Pada saat gelap kita bisa leluasa menuruni tangga di rumah kita, tapi bisa juga kita terjatuh dari tangga ketika lampu terang benderang. Dalam pengalaman pertama kita mengalami “alam” , dalam pengalaman kedua kita mengalami “dunia”. Sesuatu yang empirik tidaklah selalu memiliki evidensi. Demikian juga halnya dengan psikologi sebagai sebuah ilmu, sanggupkah menjelaskan an-sich dan das ding an-sich, begitu pula dengan das sein dan das sollen kesamaan maupun keperbedaan fungsi-fungsi psikologi?
Tentu saja Plato akan menjawabnya dengan menggunakan innate idea, sementara Heidegger akan mengungkapkannya dengan pandangan fenomenologis yang populer dengan istilah welt dan umwelt. Persoalannya begitu banyak madzab psikologi yang tidak sanggup mengungkap “dunia” dan “alam” satu orang, bagaimana psikologi akan mengungkap universalitas fungsi-fungsi psikologi seluruh manusia di bumi ini. Jika kita pinjam istilah transendental empirik untuk menyatakan keunggulan psikologi sebagai sebuah ilmu, bagaimana dan kapan kita bisa secara yakin menjelaskan patologis kejiwaan seseorang berikut dengan terapinya? Apakah empiris metode ilmiah psikologi selalu mampu menegakkan evidensinya mengingat ada perbedaan individual dalam diri setiap manusia?