Senin, 22 November 2010

Pemasaran: QUO VADIS....?

“Pemasaran adalah totalitas seluruh bisnis yang berakhir atas dasar sudut pandang pelanggan. Keberhasilan bisnis perusahaan bukan ditentukan oleh produsen, melainkan pelanggan”.
Peter Drucker

Konsep pasar dewasa ini, ternyata tak luput dari intriknya politikus, reformasi. Banyak perubahan kritis telah terjadi, baik dalam pasar konsumen maupun pasar bisnis. Heterogenitas pemikiran ala reformasi, membuat makin bervariasinya gaya hidup konsumen. Pelanggan tidak hanya menuntut kualitas yang lebih tinggi dengan harga lebih rendah, namun juga penjaminan. Beberapa perusahaan mengira bahwa mereka telah mengukur kepuasan pelanggan. Semua manajer dan unit kerja dikerahkan untuk menghitung jumlah dan jenis keluhan pelanggan secara periodik. Namun itu tak berarti, bahwa pelanggan yang tidak puas pasti mengajukan keluhan; klaim. Tak ada pelanggan yang mengeluh. Yang terjadi, pelanggan berhenti membeli.
Dalam pemasaran, pelanggan adalah orang terpenting dan nomor satu di perusahaan; bukan kepala divisi atau direktur. Perusahaan dan bisnis bergantung pada pelanggan, karena ia adalah tujuan pekerjaan itu sendiri. Tak pernah ada yang menang berdebat dengan pelanggan. Pelanggan bukanlah sosok yang dapat diadu kepintarannya. Pelanggan menyebabkan naik turunnya bonus dan insentif. Pelanggan adalah sebab yang mengendalikan pendapatan. Tak peduli siapa yang ada dalam perusahaan itu. Jika perusahaan menyadari bahwa seorang pelanggan setia menyumbang pendapatan perusahaan sepanjang tahun, alangkah bodohnya mengabaikan keluhan dan perselisihan dengan pelanggan; meski hanya kecil dan sepele.

Persoalan keluhan, klaim dan perselisihan dengan pelanggan adalah soal distorsi transkomunikasi informasi. Manajemen konservatif lazimnya menilai hal itu adalah sedikit urgensinya. Namun perubahan pesat di era reformasi adalah globalisasi; sarat dengan teknologi informasi komunikasi. Akibatnya, perubahan pasar makin lebih cepat daripada percepatan teknologi itu sendiri. Teknologi dapat dimanipulasi, diisolasi atau bahkan dieksploitasi. Namun pelaku pasar adalah orang, bukan teknologi. Orang adalah supra sistem teknologi; yang menghancurkan dan membuat teknologi. Prinsip bisnis yang unggul dalam menjalankan perusahaan, tidak semata-mata bergantung pada teknologi. Terjadi paradoksal antara globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu banyak menghadirkan tantangan baru dan peluang pasar baru secara seketika dan sekaligus. Paradoksal itu mendasari perubahan-perubahan dramatis dalam kehidupan pasar.
Banyak perusahaan mulai menyadari pentingnya untuk berorientasi total ke pelanggan dalam semua kegiatan mereka. Keberhasilan pasar diperoleh bagi perusahaan yang paling cocok dengan total keinginan pelanggan. Pemasar adalah mereka yang sanggup memberikan sesuatu yang siap dibeli orang. Apapun, siapapun serta bagaimanapun yang ada dalam pemasaran adalah pencipta marketable value. Pemasaran merupakan sesuatu yang paling bertanggungjawab mengarahkan seluruh kegiatan perusahaan ke orientasi pelanggan. Dan, tentu saja perusahaan demikian digerakkan oleh mekanisme pasar. Betul, bahwa kebanyakan pelanggan adalah menjengkelkan dan mengesalkan. Pelanggan sering bersikap ingin menerima lebih banyak, untuk jumlah yang lebih sedikit mereka berikan. Namun pelanggan itu makhluk langka. Jika semua pelanggan lebih senang menyimpan semua uang yang biasa ia belanjakan, alamat perusahaan akan tinggal nama.
Masa sebelumnya, pemasaran berfokus pada bagaimana membuat penjualan sebanyak-banyaknya. Tapi apa gunanya membuat banyak penjualan jika tak banyak tahu tentang pelanggan. Pemasar ulung bukan banyak menjual; juga bukan menemukan peluang pasar. Pemasaran dengan konsep teknologi adalah memastikan jumlah pelanggan seumur hidup. Ada pergeseran (perubahan) dalam konsep pemasaran, dari transaksi ke pembentukan hubungan dengan pelanggan. Jika SDM dan Personalia adalah lumrah memiliki personnel database yang komplit; sangatlah tidak lumrah jika Pemasaran tak punya customer/consumer database yang tidak komplit.
Hampir semua karyawan di semua lini meyakini bahwa untuk melindungi dan mendongkrak laba perusahaan, strategi pertama adalah cost reduction, technology reengineering; dan tak ketinggalan rasionalisasi perampingan tenaga kerja. Tetapi benarkah jika perusahaan berhasil memotong ongkos produksi dan memangkas pekerja, perusahaan akan meningkat pendapatannya kendati tanpa visi pemasaran yang kongkrit dan reachable lengkap dengan kompetensi memasarkan? Apakah dengan kemajuan implementasi teknologi dan total produktivitas hasil yang semakin meningkat, memberi jaminan kepastian bahwa perusahaan akan meraup laba lebih banyak?
Banyak perusahaan merancang produk melalui technological reengineering dan cost reduction dan kemudian mendapati barang-barang itu ditolak pasar. General Motors masih berkutat sampai saat ini untuk memperoleh jawaban mengapa hampir di seluruh dunia mobil Jepang (dan sekarang Korea) lebih disukai dan mudah laku daripada mobil produksinya. IBM saat ini pun kedodoran karena terpaku dengan pangsa mainframe; sebaliknya pasar bergerak ke arah microcomputer, computer networking dan computer workstation. Rancangan produk dengan kecanggihan Star Wars, tanpa masukan atau melupakan pelanggan pasca penjualan; ibarat menyuruh mereka beralih ke pesaing.

Rancangan produk hanyalah tingkat kepentingan fisik. Tak peduli itu rongsokan atau besi baja, industri hulu atau asongan, pengecer, retailer; kepentingan produk fisik lebih bergantung pada jasa yang ada didalamnya daripada kepemilikannya. Perusahaan sering membuat kekeliruan dengan lebih memperhatikan produk fisik daripada jasa yang diberikan produk itu. Perusahaan merasa menjual produk daripada memberikan solusi atas suatu kebutuhan. Orang beli mobil atau motor karena disitu diperoleh jasa transportasi. Karena mobil lebih banyak memuat barang dan orang, melindungi dari terik dan hujan, harga dan pangsanya berbeda. Ganja, kuaci ataupun besi baja hanyalah objek fisik produk. Objek fisik ialah jenis dan cara mengemas jasa yang ada dalam produk. Pemasar menjual manfaat atau jasa yang diwujudkan dalam produk objek fisik, bukan hanya menggambarkan ciri-ciri fisik produk tersebut. Pemasar dan penjual yang hanya memusatkan pemikirannya pada produk fisik, bukan kebutuhan pelanggan; hanya akan membuat pelanggan bermasalah. Esensi utama tugas pemasaran-penjualan dimulai dari pasca penjualan. Jika ini diabaikan, tak ubahnya sama dengan tempat pelelangan barang. Calon pembeli tetap datang, namun dipastikan lebih banyak pelanggan yang hengkang. Cintailah pelanggan, bukan produk.

Jumat, 05 November 2010

TEORI & KONSEP KOMUNIKASI

1. MEDIA RICHNESS THEORY
Mengulas tentang penggunaan medium yang paling tepat (medium fits) berkenaan keberhasilan tugas-tugas pengkomunikasian.

Latar Belakang & Orientasi
Media Richness Theory didasarkan atas teori contingency dan teori pemrosesan informasi (Galbraith, 1977). Ulasan teori pertama kali digagas oleh Daft & Lengel (1984)

Inti Asumsi
Daft & Lengel mengkaji tentang media komunikasi yang memiliki berbagai macam kapasitas untuk mengatasi ambiguitas, penafsiran bermacam negosiasi serta mempermudah pemahaman. Dua asumsi umum teori Media Richness menyatakan bahwa orang ingin berlaku samar-samar dan serba tidak pasti dalam organisasi, dan penjenisan (varietas) media umumnya digunakan organisasi agar komunikasi bekerja dengan lebih baik untuk tugas-tugas tertentu. Daft & Lengel memakai 4 kriteria untuk menyajikan hierarki pengkayaan media (media richness), merancang pengkayaan dari derajat tinggi ke rendah, menggambarkan tipe-tipe kapasitas media untuk memproses kedwimaknaan komunikasi dalam organisasi. Kriteria tersebut sebagai berikut:
1). Ketersediaan umpanbalik yang seketika & sekaligus
2). Kapasitas media dalam menyebarkan tanda atau isyarat ganda seperti bahasa tubuh, tekanan suara, dan perubahan (inflection)
3). Penggunaan bahasa alamiah
4). Fokus pribadi terhadap media
Komunikasi tatap muka merupakan tingkat media komunikasi paling kaya yang dapat ditempuh ketika bertelepon, email, surat biasa, catatan, memo, laporan khusus,dan buletin. Dari perspektif manajemen strategik, teori pengkayaan media menyarankan agar manager efektif membuat pilihan rasional untuk menjodohkan media komunikasi tertentu yang paling pas (tepat) untuk menjalankan tugas-tugas spesifik dengan mempertimbangkan persyaratan tingkat/derajat pengkayaan yang sanggup dilakukan.

2. UNCERTAINTY REDUCTION THEORY
Menela’ah tentang reduksi ketidaktentuan dalam perilaku
Latar Belakang & Orientasi
Uncertainty Reduction theory (URT) pertamakali dipresentasikan sebagai rangkaian aksioma (kebenaran senyatanya yang tidak memerlukan pembuktian) dan theorema (proposisi yang berasumsi benar-true) yang menggambarkan hubungan antara ketidaktentuan dan sejumlah faktor komunikasi. URT dikembangkan untuk menggambarkan inter relasi antara 7 faktor penting yang dapat dipertukarkan, yakni: komunikasi verbal, ekspresinonverbal, perilaku mencari informasi, keintiman, pertimbalbalikan, keserupaan dan kesenangan. Orisinalitas perspektif teori bermula dari C.R. Berger & Calabrase (1975); dari riset kerja Heider (1952).

Inti Asumsi
Ketidaktentuan merupakan kondisi ketidaksenangan dan oleh karena itu orang akan berkomunikasi untuk mengurangi hal tersebut. Reduksi ketidaktentuan mengikuti pola-pola tahap perkembangan (entry, personal, exit). Selama dalam tahap entry, informasi tentang sex, usia, status ekonomi atau sosial serta demografi berusaha diperoleh. Banyak interaksi dalam fase entry dikontrol oleh komunikasi norma & aturan. Ketika komunikasi mulai mengarah pada soal berbagi sikap, keyakinan, nilai dan data-data pribadi, maka fase personal dimulai. Selama fase ini, komunikasi terasa kurang dibatasi oleh aturan dan norma, serta cenderung melakukan komunikasi lebih leluasa antara satu sama lain. Dalam tahap ke-3 atau fase exit, komunikasi mengarah pada keputusan perencanaan interaksi waktu selanjutnya. Mereka mendiskusikan atau melakukan negosiasi tentang hubungan yang dapat ditumbuhkan serta dilanjutkan. Walaupun demikian, terkadang terjadi pengakhiran percakapan ketika berada dalam fase ebtry. Pola demikian sewaktu-waktu dapat terjadi pada waktu interaksi dimulai, karena orang pertamakali bertemu adalah bermaksud membuka hubungan yang selanjutnya.
Disamping pola-pola tersebut diatas, Berger juga membedakan 3 cara mendasar untuk mencari informasi tentang orang lain, yaitu:
1). Strategi pasif. Orang diamati dalam segala situasi sebagaimana orang sedang mengamati dirinya karena orang suka bertindak lebih alamiah.
2). Strategi aktif. Menanyakan sesuatu ketertarikan orang lain kendati orang tersebut dapat saling mengamati sebagaimana strategi pasif, atau berbicara langsung kepada seseorang.
3). Strategi interaktif. Orang mengkomunikasikan langsung sesuatu kepada orang lain.
Pada umumnya orang akan berusaha meningkatkan kemampuannya dengan memprediksi lawan bicara serta perilaku mereka dalam sekumpulan situasi. Salah satu faktor yang mengurangi ketidaktentuan antara komunikator ketika derajat keserupaan antar mereka mulai dapat dikenali dan diterima (seperti latarbelakang, sikap atau tampilan)

3. CONTINGENCY THEORY
Mengulas pengaruh batasan-batasan internal & eksternal organisasi

Inti Asumsi
Wiio & Goldhaber (1993) menyimpulkan bahwa perbedaan efektivitas komunikasi merupakan fungsi tipe organisasi dan komposisi dari tekanan kerja (berasal dari usia, sex, pendidikan, jabatan). Proses komunikasi dipengaruhi oleh banyaknya batasan internal & eksternal organisasi serta subsistem. Batasan menentukan status organisasi suprasistem lingkungan dan kondisi masing-masing subsistem. Proses komunikasi ditentukan dari contingency (kemungkinan bergabungnya stimuli internal & eksternal), serta bergantung atas derajat keleluasaan kondisi dalam sistem yang diperbolehkan oleh batasan organisasi. Beberapa kemungkinan internal mencakup kemungkinan struktur, output, demographic, situasi sesaat dan tradisional. Kemungkinan eksternal mencakup ekonomi, teknologi, legalitas budaya sosial politik dan lingkungan lain. Dalam perspektif komunikasi organisasi, kemungkinan apa saja yang mungkin terjadi perlu ditela’ah, bila organisasi hendak mengkomunikasikan sesuatu yang mengkonfrontasi lingkungan. Perbedaan tipe-tipe organisasi juga membutuhkan syarat-syarat perbedaan komunikasi. Wiio menyatakan bahwa kemungkinan perbedaan organisasional akan membedakan variabel demografi yang memperlihatkan adanya hubungan signifikans dengan variabel komunikasi.

4. SOCIETY NETWORK THEORY
Membahas tentang dinamika hubungan komunikasi yang mempengaruhi perilaku.

Latar Belakang & Orientasi
Gagasan teori jaringan masyarakat sosial bermula dari catatan sosiometri & sosiogram yang telah dikemukakan setengah abad lalu. Barnes (1954) merupakan pencetus jaringan sosial ketika mengulas tentang risetnya di kepulauan Norwegia.

Inti Asumsi
Teori Jaringan Masyarakat Sosial (disebut juga Network Analysis-Analisis Jaringan) merupakan studi untuk menelusuri dinamika struktur sosial dalam kaitannya dengan orang per orang, kelompok atau organisasi yang berpengaruh pada keyakinan (belief) atau perilaku. Tekanan adalah nyata dalam struktur sosial. Analisis Jaringan merupakan serangkaian metode untuk mendeteksi dan mengukur besaran atau tingkat pentingnya tekanan yang ada. Setiap pendekatan dari aksioma Analisis Jaringan menegaskan bahwa realitas seharusnya pertama kali dipahami, disusun untuk diselidiki guna memperoleh asal-usul relasi yang terjadi serta unit komponen yang membangun didalamnya. Dalam ilmu komunikasi dan sosial, unit-unit tersebut dapat berupa individual, kelompok atau organisasi serta masyarakat.
Rogers (1986) menyatakan bahwa ciri jaringan komunikasi terdiri atas interkoneksi individu yang berantai melalui alur-alur komunikasi yang terpola. Analisis jaringan komunikasi merupakan pertalian interpersonal yang terbangun atas pembagian serta penyebaran informasi dalam struktur komunikasi interpersonal. Dengan menelusuri pemetaan hubungan jaringan interpersonal yang terjadi, maka pola-pola komunikasi formal dan informal dalam struktur komunikasi dapat diperbandingkan. Sikap, perilaku, cara dan isi komunikasi individu bermula dari asal muasal posisi mereka dalam sebuah struktur jaringan. Pola-pola komunikasi dapat digunakan untuk mengenali identitas individu (apakah bagian dari kelompok), kelompok (apakah bagian dari organisasi), organisasi (apakah bagian dari masyarakat), masyarakat (bagaimanakah dan apa sajakah identitas individu didalamnya). Secara spesifik, Analisis Jaringan digunakan untuk mencari dan menetapkan saluran & media, tipe informasi, hasil penjaringan komunikasi serta peluang komunikasi Bottom-Up, beban komunikasi, gaya komunikasi dan efektivitas alur komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Daft, R.L.& Lengel, R.H. (1984). Information richness : A new Approaches Managerial behavior and Organizational Design (1986). Organizational information requirements media richness & structural design. In Cummings, L.L. (Eds). Research in Organizational Behavior 6, (191-233) Homework. JAI Press.

Dijk, J.A.G.M. van (2003) Outline of Multilevel Theory of The Network Society. Universiteit Twente.

Galbraith, J. (1977). Organizational Design. Reading, MA : Addison-Wesley

Goldhaber, G.M. (1993). Organizational Communication. Sixth Edition. New York : McGraw Hill

Health, L.R. & Bryant, J. (2000). Human Communication Theory & Researches: Concept, Context & challenges. Mahwah,NJ. Eribaum

Mouge, P. & Contractor, N. (2003). Theories of Communication Networks. Cambridge: Oxford University Press.

Rogers, E.M. (1986). Communication Technology : the New Media in Society. New York: Free Press.

Suh, K.S. (1999). Impact of Communication medium on task performance satisfaction : an examination of media-richness theory. Information & Management, 35, (295-312). In Health, L.R. & Bryant, J. (2000). Human Communication Theory & Researches: Concept, Context & challenges. Mahwah,NJ. Eribaum

Woudstra, E., & Gemert, L., van (1994). Planning van de interne communicatie: een kader. In Health, L.R. (1997). Management of Corporate Communication. Hillsdale : Lawrence Eribaum. In Health, L.R. & Bryant, J. (2000). Human Communication Theory & Researches: Concept, Context & Challenges. Mahwah, NJ. Eribaum

Minggu, 14 Maret 2010

NARKOBA & REMAJA

Narkoba & Remaja

PENDAHULUAN
Meski telah dikeluarkan UU No.5/1997 tentang Psikotropika dan UU. No. 22/1997 tentang Narkotika, yang didalamnya telah termuat secara jelas sanksi maksimal yakni, tuntutan hukuman mati bagi para pengedarnya, namun bisnis haram yang skalanya dari data tercatat mencapai Rp.325 milyar perhari dengan pecandu sekitar 6,5 juta rakyat Indonesia ini tak menunjukkan tanda-tanda surut; bahkan kian marak. Dari segi kesehatan, narkoba dipandang sebagai penyakit endemik dalam masyarakat, suatu penyakit kronis yang berulangkali kambuh. Angka kekambuhan terhadap narkoba untuk skala Indonesia, menurut Depkes Kanwil Jawa Barat masih tinggi yakni 43,9%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa resiko kematian akibat mencandu narkoba diakibatkan karena kerusakan fungsi fisik (17,17%), kelainan paru-paru (93,67%), kelainan fungsi hati (55,10%) dan hepatitis C (56,56%) (Pikiran Rakyat, 27 Desember 1999).Resiko kematian yang lain akibat mengkonsumsi narkoba ini adalah overdosis dan keracunan.
Mengutip keterangan FKUI/RSCM dari Instalasi Gawat Darurat yang banyak menangani kasus demikian, diperoleh data bahwa overdosis dan keracunan jenis opiat (putauw, heroin,morfin) mulai meningkat sejak tahun 1998. Dilaporkan pula bahwa 62 dari 118 kasus keracunan yang ditangani selama tahun 1998 disebabkan oleh ekstasi dan opium. Tahun 1999 meningkat drastis bahwa hampir semua keracunan sebesar 203 kasus disebabkan karena narkoba dengan prosentase 82% akibat putauw dan sisanya shabu-shabu.(Kompas, 11 Maret 2001).
Peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut tampaknya mulai memiliki kecenderungan yang meningkat, baik dari sisi pemakai maupun sisi jalur perdagangan. Jika kasus-kasus sebelumnya lebih banyak ditemukan di kawasan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya maka kasus-kasus yang ditemukan aparat akhir-akhir ini tidaklah demikian. Untuk kawasan Jawa Barat dan DKI, daerah pinggiran atau kota transisi seperti Ciamis, Cianjur, Cipanas, Tanggerang, Serang, Indramayu terlihat mulai banyak ditemukan kasus serupa yang bersifat akumulatif. Demikian pula dengan karakteristik pemakai atau pecandu, tidaklah lagi berkisar pada kelompok elite seperti kaum selebritis dan sejumlah pengusaha muda, melainkan telah merasuk pula pada lingkup sekolah dan perguruan tinggi.Sebagai indikator maraknya pemakaian narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah data yang berhasil dihimpun dari Kejari Bandung. Berdasarkan data tersebut, jumlah kasus narkotik dan psikotropika yang masuk ke Kejari Bandung naik sekitar 200% atau 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu Kajari Bandung, H. Marwan Effendy, SH, MM memutuskan untuk tidak lagi memberi toleransi kepada para pelajar dan mahasiswa dalam menerapkan tuntutan hukum untuk kasus narkoba.
Sementara itu untuk kasus para pengedar narkoba jenis pil setan selain mahasiswa, juga ditemukan para pegawai baik di lingkup instansi kepemerintahan maupun swasta. Hasil temuan lain dari Tim Pokja Depdiknas menyatakan bahwa 70% dari 4 juta pecandu narkoba di Indonesia adalah siswa yang tercatat sebagai anak usia sekolah antara 15-20 tahun. Selain itu, berita dari Pokja Depdiknas Kanwil Jakarta, juga menyatakan bahwa 1015 siswa SMU di Jakarta terlibat narkoba dan 315 diantaranya terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena harus menjalani program rehabilitasi untuk menyelamatkan jiwanya. (Media Indonesia, 11 Februari dan 5 Agustus 2000).Berdasar data dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) per Februari 1999, Direktorat Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas menyatakan bahwa anak muda dikalangan pelajar dan mahasiswa yang menjadi pemadat di Jakarta adalah sekitar 10 kali lipat dari ambang batas WHO; dengan perincian 1055 siswa SLTP, 2096 siswa SLTA dan 1596 mahasiswa. Selain itu, Ketua Nasional Drug Abuse Prevention Center (NDPC) Jesse Monintjo juga menyatakan keprihatinannya bahwa penderita narkoba di Jakarta meningkat sampai 100% lebih dengan mensinyalir bahwa anak muda yang menjadi pemadat terbesar berada di kalangan usia 15-27 tahun (Media Indonesia, 4 September 1999 dan 11 Februari 2000).Keprihatinan senada juga tampak dari sejumlah tokoh pendidikan dan pejabat instansi pemerintahan yang membidangi generasi muda ketika mengomentari temuan Tim Pokja Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba (P3N) yang dibentuk Direktorat Pembinaan Kesiswaan Ditjen Dikdasmen.
Dari temuan tersebut terungkap bahwa komposisi keterlibatan siswa dalam bentuk persentase dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut 1995 (80%), 1996 (75,76%), 1997 (65,58%), 1998 (66,51%). Dibandingkan dengan data RSKO maka tercatat bahwa telah terjadi lonjakan pasien yang signifikan; yakni 1995 (2958 pasien), 1996 (2190 pasien), 1997 (3307 pasien) dan 1998 (5741 pasien). Sebagian terbesar pasien RSKO adalah penderita dari kalangan siswa (SD, SMP dan SMA) dengan jumlah 92% dari keseluruhan penderita yang dirawat di RSKO Jakarta. Dari data tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa keterlibatan siswa dalam kasus narkoba rata-rata menyebabkan siswa (SD, SMP dan SMA) itu sendiri menjadi seorang pemadat yang perlu menjalani perawatan medis dan rehabilitasi.
Dari data-data aktual pada umumnya mass media diperoleh gambaran bahwa rata-rata kalangan muda di usia antara 15 – 24 tahun ternyata lebih banyak terlibat dalam kasus narkoba. Jika PBB (UNO) mengkategorikan usia 15 – 24 tahun sebagai remaja, maka yang termasuk anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 15 tahun. Tetapi menyimak UU No.1/2000 yang merupakan ratifikasi Konvensi ILO No.182 mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, memasukkan batasan anak di bawah usia 18 tahun sebagai kelompok sasaran. Lagi pula, dalam UU No.1/2000 tersebut dinyatakan bahwa keterlibatan anak dalam produksi, pengedaran dan pengiriman narkoba termasuk dalam jenis pekerjaan yang paling buruk, sehingga harus segera dicegah.Dari penjabaran data-data tersebut di atas, dapat diyakini bahwa hampir seluruh kasus narkoba menunjukkan adanya korban ketergantungan akibat kecanduan yang rata-rata menimpa kalangan muda dari usia sekolah (SD-PT; 15-25 tahun).
Diyakini pula, bahwa ketergantungan mereka terhadap narkoba merupakan sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Masa transisi untuk menjadi dewasa adalah sebuah tantangan bagi anak atau remaja beserta orangtua secara bersama-sama. Dalam masa ini, mereka terdorong akan mencoba sesuatu yang baru guna memantapkan perubahan dalam pribadinya dan sekaligus menunjukkan transisi peran yang harus ditunjukkan dalam sebuah keluarga.
Lingkungan intern keluarga, sosialisasi dan pendidikan di keluarga, pergaulan sosial dengan kelompok sebaya dan orang dewasa di sekitarnya serta lingkungan belajar sangat berperan menciptakan kondisi yang kondusif dan akomodatif bagi anak. Banyaknya anak yang kemudian ‘salah jalan’, diyakini karena lingkungan intern keluarga bersangkutan mengalami degradasi fungsi. Keluarga sebagai pranata sosial yang paling utama dalam pembinaan dan pengembangan kapasitas pribadi anak, tidak lagi berfungsi dalam menjalankan peran dan fungsi normatif keluarga sebagaimana mestinya.
Degradasi fungsi keluarga umumnya terjadi karena alasan ekonomi, yakni orangtua terlalu banyak bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarganya sehingga kekurangan waktu untuk memperhatikan aspek emosi dan afeksi. Padahal kedua aspek demikian tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek pemenuhan kebutuhan hidup secara fisiologis dan biologis dalam membantu anak atau remaja mencapai perkembangan yang sehat. Kenyataan seperti ini bisa terjadi untuk semua lapisan dan kelas masyarakat manapun.Kasus penyalahgunaan narkoba yang dapat mengakibatkan terjadinya ketergantungan dan kecanduan dari seorang anak dan remaja, diyakini sedikit banyak dilatarbelakangi oleh terjadinya degradasi fungsi keluarga semacam itu. Adanya aktivitas dari jaringan narkoba untuk melakukan penetrasi terhadap anak remaja dalam usaha mengikat mereka dalam ketergantungan narkoba dan mencandu diyakini lebih bersifat oportunistik dan dipandang sebagai trigger, jika kebetulan ada aspek kelemahan fungsi keluarga yang membuka peluang terjadinya hal itu. Bila peluang itu membuka kesempatan yang kian membesar secara bersamaan dengan aktivitas pengedar narkoba, diyakini seorang anak remaja relatif mudah terperangkap dalam jaringan tersebut.
Sebaliknya, jika peluang itu sangat kecil memberi kesempatan pada masuknya aktivitas pengedar, maka diyakini pula bahwa anak remaja relatif tidak akan mudah terlibat dalam kasus narkoba. Keterikatan keluarga (attachment), termasuk di dalamnya orangtua, orang dewasa dan kelompok sebaya yang sangat kuat secara kognitif, afektif dan konatif, diyakini mampu membendung anasir-anasir merugikan yang datang dari lingkungan sekitarnya.


ASUMSI PEMIKIRAN
1. Pencandu narkoba adalah anak yang berada pada tahap perkembangan transisi menuju masa dewasa.
2. Penyalahgunaan narkoba oleh anak remaja adalah masalah sosial dan ketergantungan narkoba dikarenakan kemampuan sosialisasi yang lemah, sehingga setiap kali anak menghadapi masalah dalam mencapai tugas perkembangan selanjutnya ia cenderung mengatasinya dengan obat-obatan.
3. Kecanduan narkoba identik dengan ketergantungan obat dan akar permasalahan tersebut ternyata tidak semata-mata problematis kejiwaan namun juga menunjukkan kontribusi peran lingkungan sosial; khususnya fungsi keluarga.
4. Pecandu narkoba dapat direduksi ketergantungannya melalui intervensi variabel-variabel sosial, terutama mengoptimalisasikan fungsi keluarga.
5. Kepribadian pecandu narkoba dapat direkayasa kembali dengan menelusuri pencapaian tahap-tahap perkembangan dalam membentuk identitas melalui penguatan variabel sosial dalam fungsi keluarga.

DEFINISI NARKOBA
Narkoba atau narkotik dan obat-obat terlarang merupakan istilah populer dari NAPZA yakni Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif. Narkotika merupakan istilah populer dari opium atau putauw yang menunjukkan pada pengertian obat-obatan pembunuh atau pengurang rasa sakit atau nyeri yang terbuat dari bahan-bahan opium seperti heroin, morfin, paregoric dan codein. Bahan dasar pembuatan narkotika adalah sejumlah jenis tanaman ganja. Penggunaan obat golongan sangat keras terbatas ini efektif digunakan untuk tujuan medis atas otoritas dokter secara resmi (legal). Heroin dan morfin digunakan untuk membangkitkan efek reaksi emosional dalam mengurangi rasa tegang atau ketegangan fisiologis, rasa mudah takut dan mengurangi kegelisahan. Sejak narkotik diketahui sangat berhubungan erat dengan terjadinya tindakan beringas, kejam, sadis dan kekerasan maka penggunaannya kemudian diatur secara hukum melalui UU No. 22/1997 tentang Narkotika.
Sementara itu, alkohol merupakan substansi alami hasil dari fermentasi yang penggunaannya serupa dengan obat-obatan yang bersifat anti-depresan. Alkohol ini memberi efek memabukkan yakni suatu kondisi fisik dan mental yang tidak seimbang dalam koordinasi psikomotorik (inkompetensi). Efek fisiologis yang ditimbulkan alkohol adalah pandangan menjadi terganggu, mekanisme persepsi kedalaman menjadi berubah, reaksi pupil mata menjadi lebih lamban dalam merespon sinar, tekanan suara menjadi berat, kekacauan fungsi koordinasi, kemampuan memecahkan masalah menjadi berkurang, emosi dan suasana hati menjadi tak terduga, kemampuan mengingat berkurang, pengetahuan menjadi berkurang dan tidak terstruktur, kemampuan menyerap informasi menjadi terganggu sehingga dalam memutuskan sesuatu tampak kacau. Psikotropika menunjukkan pengertian obat-obatan yang digunakan untuk merangsang susunan saraf pusat yang dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan, aktivitas dan mempercepat proses-proses fisiologis. Obat jenis ini dalam terminologi medis lazim disebut sebagai stimulant, mencakup didalamnya amphetamines, kokain, kafein dan nikotin. Terkecuali kokain, obat jenis ini legal, mudah diperoleh dan relatif tidak mahal. Sebelum diketahui akibat salah penggunaan kokain, semua obat jenis ini tak perlu resep dokter. Namun setelah dinyatakan oleh otoritas hukum bahwa kokain sangat berhubungan erat dengan peningkatan terjadinya kriminal maka pemakaiannya dikontrol melalui mekanisme hukum; salah satunya adalah dengan UU. No.5/1997 tentang Psikotropika.
Oleh karena itu istilah psikotropika sangat erat kaitannya untuk menunjukkan aturan hukum dalam penggunaan kokain yakni jenis amphetamin. Istilah populer amphetamin adalah shabu-shabu. Golongan amphetamin adalah benzedrine (bennies), dexederine (dexies), methedrine (meth atau crystal) dan dexamine (kombinasi amphetamin dengan obat bius tidur). Efek stimulan demikian adalah peningkatan tingkat kewaspadaan yang berlebihan, sangat aktif berbicara namun cenderung tidak terkontrol, merasa memperoleh tambahan daya kekuatan yang sangat besar serta merasa begitu nyaman dan aman dengan dirinya.Zat adiktif merupakan terminologi untuk menunjukkan penggunaan zat-zat obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga seringkali memberikan efek psikologis yang membahayakan jiwa. Menurut WHO penyalahgunaan zat adiktif dinyatakan sebagai suatu kondisi yang memabukkan secara periodik dan kronis dan merusak kehidupan individu ataupun masyarakat jika penyalahgunaan tersebut merupakan pola konsumsi secara berulangkali dan bersifat menetap.
Karakteristik penyalahgunaan zat adiktif ini:
a. Terbentuknya keinginan yang begitu kuat dan berlebihan dan bersifat kompulsif untuk melanjutkan pemakaian zat obat tersebut tanpa tujuan yang dibenarkan.
b. Ada kecenderungan untuk meningkatkan dosis pemakaiannya.
c. Seringkali mengakibatkan ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis.
Jenis penyalahgunaan zat adiktif ini dapat dibedakan menjadi tiga kondisi akibat reaksi kimia didalamnya yang terlihat pada efek perasaan, pemikiran dan pola perilaku. Oleh karena itu zat adiktif ini seringkali diistilahkan dengan zat psikoaktif diantaranya adalah jenis stimulan, sedatif, narkose. Zat adiktif merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan obat yang tidak dapat diidentifikasi jenisnya namun memberikan efek psikologis yang merugikan serta membahayakan jiwa.
Indikator Pelaku dan Pecandu NarkobaPenyalahgunaan obat-obat terlarang seringkali diistilahkan secara populer dengan drug abuse. Istilah ini secara lebih luas untuk menunjukkan pemakaian obat-obat penenang yang tidak sesuai dengan tujuan medis sehingga cenderung tidak mengikuti dosis pemakaian yang dibenarkan secara medis. Orang yang melakukan penggunaan zat-zat sedatif atau penenang (tranquilizer) secara ilegal tanpa tujuan medis yang dibenarkan dan menyebabkan gejala mabuk (intoksikasi) atau psikoaktif yang berakibat munculnya disorientasi dalam aspek psikologis seperti emosi, kognisi dan pola perilaku dinyatakan sebagai pelaku narkoba.Ketergantungan narkotik dan obat-obatan seringkali diistilahkan dengan drug dependency yakni suatu kondisi ketergantungan fisiologis atau psikologis atau keduanya yang menghasilkan pola pemakaian yang bersifat kronis, periodik dan berkelanjutan.
Dalam ketergantungan obat-obatan ini muncul istilah habituasi untuk menunjukkan adanya ketergantungan secara psikologis yang ditandai dengan keinginan psikologis yang berlebihan untuk selalu mengulang penggunaan obat-obatan tersebut dalam jeda waktu yang sangat sebentar serta dapat dipastikan berkelanjutan karena alasan-alasan emosional yang tidak jelas. Orang yang menunjukkan habituasi ini dinamakan pecandu narkoba. Sementara istilah adiksi digunakan untuk menunjukkan ketergantungan fisiologis atas pemakaian obat-obat tersebut. Namun istilah ini secara ilmiah kurang begitu dikenali karena memberikan efek yang relatif sama dengan habituasi. Oleh karena itu drug dependency atau ketergantungan obat-obatan cenderung digunakan untuk menunjukkan adanya habituasi maupun adiksi.
Efek pola perilaku dan psikologis yang diakibatkan oleh ketergantungan narkoba adalah sebagai berikut:
1. Efek Psikotropika
Mariyuana merupakan salah satu psikotropika yang menghasilkan efek psikoaktif yakni semacam kondisi relaksasi yang tidak terkendali. Jenis lain yang lebih berat efeknya adalah hashish. Efek yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Terbentuknya keyakinan bahwa semua obat dapat memecahkan masalah.
b. Terbentuknya perasaan yang makin leluasa untuk menggunakan berbagai macam jenis obat-obatan.
c. Terbentuknya perasaan untuk konformis dengan gaya perilaku tertentu yang biasanya muncul di tempat-hiburan akibat tekanan kelompok.
d. Cenderung memakai persepsi dan pemikiran berbeda dalam meyakini bahwa obat-obatan bisa diperoleh dimana saja dan dipergunakan kapan saja.
e. Adanya indikasi perilaku memberontak dan melawan figur orang tua.
2. Efek stimulan
Umumnya efek stimulan diawali dengan peningkatan proses fisiologis yakni lebih cepatnya tekanan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan kondisi berdebar-debar, pembesaran pupil mata juga terjadinya mulut yang kering, banyak berkeringat, sakit kepala, diare dan muka pucat. Efek psikosis yang dimunculkan untuk jangka yang lama yakni pecandu menjadi bingung, takut dan gugup jika berhadapan dengan realitas. Efek psikologis yang ditimbulkan sebagai berikut:
a. Adanya perilaku berlebih-lebihan yang bersifat sangat aktif, mudah tersinggung dan cepat marah, argumentatif dan suka membantah serta cepat gugup.
b. Cepat dan mudah bergairah atau terangsang, begitu berbahagia dan merasa aman (euforia) dan terlalu banyak bicara namun cenderung tidak terkontrol.
c. Membesarnya pupil dengan sorot mata yang sayu.
d. Tahan untuk tidak tidur dan makan dalam periode waktu yang lama.
3. Efek Narkose
Efek dari jenis sedatif (zat penenang) yang paling berat dan seringkali ditemukan dalam kasus-kasus narkoba adalah efek narkose. Jenis narkose yang paling populer adalah opium atau zat opiat yang biasa disebut sebagai putauw. Jenis lainnya yang setara adalah morfin, heroin, LSD (lysergic acid diethylamide), PCP-Angel Dust (Phencyclidine). Efek narkose ini seringkali dinyatakan sebagai hallucinogen, karena mampu membentuk halusinasi atau delusi dalam fungsi psikologis pecandu. Efek psikologis lainnya adalah sebagai berikut:
a. Munculnya simptom memabukkan seperti alkohol, tanpa jejak bau nafas.
b. Jalan terhuyung-huyung atau sempoyongan.
c. Sering jatuh kesadaran, bahkan tertidur saat beraktivitas.
d. Tampak disoriented.
e. Cenderung berbicara seronok, kotor, mencerca dan mengumpat.
f. Membesarnya pupil dan sorot mata sayu.
g. Susah berkonsentrasi.
h. Cenderung cepat marah dan selalu menampilkan reaksi bertengkar.
i. Adanya distorsi perseptual yang memunculkan halusinasi visual dan auditoris.
KONSEP PEMIKIRAN KASUS NARKOBA
Konsep Psikososial
Psikososial memandang bahwa perbedaan yang dirasakan oleh remaja bukan karena perbedaan atau perubahan nilai namun lebih disebabkan oleh perubahan cara pandang akibat perkembangan intra psikis. Ketergantungan narkoba oleh anak remaja berlatarbelakang dari cara pandang yang keliru dalam menafsirkan internalisasi nilai-nilai dari keluarga. Apalagi jika diketahui bahwa kehidupan keluarga anak remaja tersebut ternyata tidak ditemukan adanya proses internalisasi orangtua kepada anak-anaknya, sehingga mereka pun tidak pernah mengerti nilai-nilai atau norma apa saja yang harus ia cerna, olah dan ia tata kembali ke dalam dirinya. Anak remaja demikian hanya sanggup mengenali suatu model perilaku berdasarkan sesuatu yang teramati (observable) saja, namun tidak mampu mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah model yang ia tetapkan.Ahli lain Sears, memiliki konsep identitas sebagai keutuhan yang menyeluruh dari semua sub domain yang spesifik dan merupakan cerminan berfungsinya ego. Yang dimaksud dengan sub domain disini adalah penekanan pada aspek kognisi yang lambat laun akan makin berkembang menuju sosial kognitif dan pembentukan identitas.
Remaja dianggap telah telah mencapai tingkat kedewasaan jika sikap sosial yang ditunjukkan bersifat prososial. Awal mulanya sosial kognitif ini berangkat dari minat pribadi sehingga bagi beberapa remaja bisa berbeda. Dalam kehidupan sosial, remaja mulai dihadapkan dengan tuntutan dan harapan-harapan masyarakat seperti halnya kepatuhan terhadap peraturan maupun hukum tertulis, etika dalam bergaul dan cara bertingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat sehingga remaja perlu menetapkan sikap sosial yang secara normatif dapat diterima lingkungan. Dalam sikap sosial ini remaja telah memiliki ketetapan hati secara moral, sehingga ia dapat diterima dimanapun ia berada namun tidak mengurangi kemandirian dan keunikan pribadinya yang bisa dibedakan dari remaja lain. Dari konsep Sears dapat diidentifikasi bahwa terjadinya ketergantungan narkoba merupakan sebuah kegagalan atas usaha pendekatan yang bersifat menyeluruh untuk menguasai dan menonjolkan ‘trait kepribadian’. Ego tidak lagi dipandang sebagai suatu alat untuk menyeleksi dan menyaring hal-hal dalam realitas kehidupan sebagai cara untuk mengurangi derajat kecemasan. Agaknya tingkahlaku yang berhubungan erat dengan narkoba dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mempelajari dan menonjolkan ‘trait kepribadian’ mulai dari masa terjadinya kegagalan individuasi yang terus berkembang mencapai tahap selanjutnya yang seharusnya lebih matang secara fungsional di masa remaja akhir dan dewasa. Karena fungsi ego dalam bentuk-bentuk umum sebagai pengendali impuls, gaya kepribadian, penetapan fungsi kesadaran, corak kognitif tiap-tiap tahapan, maka pecandu narkoba dan kasus ketergantungan narkoba dapat dipandang sebagai malfunction dalam struktur ego identity.
Secara normatif, remaja akan mengorganisasikan impuls-impuls yang dirasakannya dimana minat pribadi dianggap sebagai penggerak utama sehingga ia harus sesegera mungkin menemukan konformitas dengan kelompok sosialnya. Jika kondisi sosial telah disetting sebagai suatu ajang kegiatan narkoba oleh para pengedar, maka ia akan sangat relatif mudah untuk terlibat didalamnya.Dari rujukan psikososial, dapat ditelusuri kondisi alamiah untuk menganalisis peran identitas seorang anak remaja yang kecanduan narkoba terhadap apa yang ia ingin perankan dalam suatu kelompok dimana dalam kondisi demikian, ia bisa dikenali atau mengenali, membantu atau memperoleh bantuan dari lingkungan sekitarnya sehingga ego remaja tersebut makin lama kian terlihat jelas. Dalam penerapan teori Erikson, perlu membedakan proses pencapaian identitas dengan istilah introjection untuk masa bayi, identifikasi untuk masa anak-anak dan formasi identitas untuk masa remaja. Penekanan pada masa remaja bagi Erikson dijelaskan bahwa hal itu merupakan suatu kesempatan oleh remaja untuk mencoba membentuk identitasnya dari identifikasi yang ia telah capai sebelumnya secara kualitatif. Hasil akhir identitas itu merupakan perpaduan dari identifikasi pengalaman individu masa lalu mencakup didalamnya figur-figur signifikan, hal-hal yang dianggap paling berkesan dalam suatu rangkaian yang berkelanjutan dan umumnya bersifat unik.
Kecanduan Narkoba sebagai Kegagalan dalam Individuasi Kedua
Bagi pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang, kondisi ‘kesadaran’ yang lebih matang merupakan hal utama yang dipandang harus terjadi dimasa remaja akhir dan dewasa, sebaliknya remaja demikian ternyata tidak mendapatkan ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri sehingga tidak adekuat dalam menyadari dan menerima dirinya sehingga perlu merasa exist dalam situasi apapun. Dari paradigma demikian, pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obatan tidak bisa memperbedakan dirinya dengan orang lain, sehingga merasa untuk selalu menyalurkan drives ataupun memenuhi needs-nya untuk tetap berada dalam konformitas kelompok sosialnya, kendati ia berada dalam kelompok sosial yang asosial. Sikap dan tingkahlakunya lebih menghargai individualitas yang sebenarnya bersifat unconsciousness guna memantapkan mutualisma yang lebih kokoh dalam sebuah keterikatan. Disinilah pangkal tejadinya seorang pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang relatif sukar dipisahkan dari “kelompok sosialnya” sehingga ia menjadi pelanggan setia penggunaan narkoba.Individu yang begitu impulsif bukanlah sesuatu hal yang perlu dipersoalkan, akan tetapi memang seharusnya anak-anak tampak demikian karena dirinya sedang dipenuhi oleh impuls dan hasrat yang ternyata memiliki keterikatan kuat secara unconsciousness dengan kelompok jaringan pengedar narkoba.
Dalam kondisi demikian, proses transformasi dalam tahap perkembangan yang seharusnya belajar membuat keseimbangan antara subjek dirinya dengan objek di sekitarnya cenderung tidak tercapai. Secara normatif, suatu diri/pribadi – identitas anak muda mencerminkan kebutuhan dan minatnya sendiri, namun tidak menunjukkan jarak perbedaan dengan apa yang ia terima dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan antara kebutuhan dan minat dalam diri pribadi merupakan titik awal seorang anak muda belajar mencoba membuat keseimbangan, kemudian bergeser ke minat dan kebutuhan subjek – self dengan objek di sekitarnya. Lambat laun anak muda yang berkembang menjadi remaja harus dapat membuat keseimbangan antara minat dan kebutuhannya, tidak lagi kepada objek melainkan dengan orang-orang lain sehingga ia sanggup membentuk hubungan interpersonal dan keterikatan dalam hubungan dengan orang lain dalam sifat mutulalistik yang produktif.
Lebih luas lagi, keseimbangan itu juga menuju antara peran-peran kelembagaan yang bersifat legal, bukan lagi hanya lingkup kelompok sosialnya. Persoalannya pecandu narkoba dan ketergantungan obat-obat terlarang lebih terpaku dengan unconsciousness untuk tetap merasa terikat dengan suatu objek (narkoba) guna membentuk keseimbangan antara minat dan kebutuhannya di tengah-tengah kelompok sosialnya. Jaringan peredaran narkoba dan obat-obat terlarang merupakan sebuah kelompok sosial yang sangat efektif untuk menstimulasi dorongan dan membangkitkan ketetapan hati seorang pecandu, karena ia dapat memperoleh segalanya dengan cepat dan memuaskan.Keberhasilan dan kegagalan untuk mengembangkan dirinya – self, tentunya akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang dirasakan seorang remaja selama rentang kehidupannya.
Dan disinilah letak problematik yang kemudian sering muncul, bila ternyata remaja tidak memperoleh kepuasan terhadap dirinya; sementara ia sendiri, orang dewasa atau orangtua tidak pernah menyadari adanya akar permasalahan yang sebenarnya. Kebanyakan kalau pun mengerti, mereka lebih banyak mencoba melangkah pada fenomena permasalahan yang menjadi kasus, bukan pada pokok kerangka mendasar perkembangan identitas remaja. Jika terdapat seorang anak remaja bergantung pada narkoba maka seringkali upaya penanganannya adalah menjadikan ia tidak lagi bergantung, bukannya merekayasa kembali struktur kepribadian yang rawan terhadap situasi-situasi yang dapat membangkitkan ketidakpuasan dan kecemasan dalam diri.
Konsep Re-Individuasi Pecandu Narkoba
Jika pecandu telah menunjukkan ketidakmampuan untuk mencoba mengendalikan/ mengkontrol impuls dalam dirinya, maka ia perlu dilatih agar mampu membuat jarak antara impulsnya dengan kontrol diri. Pembelajaran mengantisipasi hal itu dapat dibuat dalam jangka pendek dengan menerapkan reward atau punishment; sampai upaya untuk melakukan kontrol semakin tampak nyata terlihat. Cara demikian dimaksudkan untuk mencoba mengembangkan kemandirian dan ketergantungan dari faktor-faktor eksternal yang seharusnya biasa terjadi secara alamiah pada masa transisi tahap perkembangan anak usia sekolah. Meski minat pribadi masih mungkin tampak mendominasi dirinya, agaknya hal itu tak perlu dipersoalkan guna mendeteksi situasi penggerak tindakannya dalam menyalurkan keinginan-keinginannya. Dengan cara ini lambat laun ia diharapkan mampu dalam membangun keterikatan iterpersonal, meski tidak begitu kuat bergantung, namun ada karakteristik hati-hati/waspada, usaha manipulasi dan kontrol; yang kesemuanya merupakan hal utama dalam kesadaran.
Jika pecandu mulai mambangkitkan kepuasan diri melalui sebuah kelompok dimana ia akan mendapat sesuatu yang menyenangkan; dikala mana ia menganggap dirinya tidak banyak berbeda dengan kelompoknya; diharapkan akan terjadi individuasi dalam basic trust seperti diungkapkan oleh Erikson. Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa kelompok adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri remaja dan ego orang dewasa. Untuk mencapai konformis, aturan dalam kelompok akan dipatuhi sepenuhnya oleh anak, karena ia pun takut adanya penolakan dari kelompok atau hukuman sehingga keinginan untuk bisa diterima kelompok atau penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulnyanya. Inner life untuk menjadi konformis, lazimnya membuat anak menjadi santun, obedience, kooperatif dalam klik/geng yang nyata, mencapai penerimaan sosial, reputasi dan perolehan tingkat status diri; yang kesemuanya juga merupakan bagian utama dalam kesadaran.
Tingkat transisi ini paling mudah untuk diketahui karena merupakan modal utama/dasar dalam tahap perkembangan ego orang dewasa. Dalam tahap ini, pecandu bisa mencapai kesadaran diri sepenuhnya, bahkan bisa diketahui adanya peningkatan yang terus menerus terhadap kesadaran diri dan mulai membuka diri serta memahami adanya berbagai kemungkinan dalam suatu situasi. Meski agak samar-samar dalam mengungkap perasaan-perasaannya namun ia selalu dalam keadaan sadar diri sehingga melalui fungsi ego pada tingkat ini ia sanggup mengungkapkan gambaran-gambaran inner lifenya. Ia bisa menemukan dan menyadari bahwa dirinya sebagai pribadi seutuhnya (as self is self), bahkan bisa memisahkan diri dari identifikasi total norma “kelompok narkoba”.
Pada tahap ini menggambarkan kualitas kemampuan pecandu dari aspek jangka panjang, diharapkan pecandu telah mampu mengevaluasi secara kritis tujuan-tujuannya, bersedia dan mampu untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri, menyadari tanggungjawab pribadi, mampu untuk menggambarkan perbedaan individu dari aspek traits dirinya sendiri. Jika nilai-nilai sosial yang lazim dan normatif telah terinternalisasi, diharapkan pecandu bisa membedakan benar atau salah bergantung pada evaluasi pandangan diri pribadinya. Perlindungan diri yang diyakini sebagai pokok terbentuknya ketergantungan pecandu, diperoleh melalui kesediaan untuk patuh terhadap norma sosial yang lebih luas atau guna menghindari legalitas hukum sosial atau masyarakat yang berlaku. Perilaku demikian akan tampak dengan usaha pecandu untuk tetap mencoba konformis agar memperoleh penerimaan sosial dari kelompok, menyadari perlunya untuk mengevaluasi secara individu aturan dan standart aturan yang diberlakukan serta mulai memikirkan tujuan-tujuan jangka panjang serta pemikiran yang ideal sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan moral.
Adanya peningkatan rasa dan penghargaan terhadap individualitas berkenaan dengan keleluasaan dalam menyatakan ungkapan emosional merupakan sebuah pertanda terbentuknya suatu keterikatan hubungan. Keterikatan hubungan yang akrab justru sering dipandang sebagai hal yang kurang pas mengingat perlunya upaya untuk pencapaian prestasi hidup. Yang lebih penting, harus ditumbuhkan kesadaran terhadap konflik atas inner life yang mulai menurun, tetapi konflik itu justru mulai terungkap tampil secara nyata atau tereksternalisasi; namun bisa teratasi. Misalnya bila segala sesuatunya diserahkan kepada Tuhan, maka konflik tentang keinginan kembali mencoba narkoba bisa terakomodasikan. Konflik internal demikian justru harus diterima guna peningkatan ke tahap selanjutnya yakni kemandirian serta menerima konflik tersebut sebagai cara hidup, karena hal itu akan meningkatkan kemampuan toleransi terhadap paradoksal (hal yang berlebih-lebihan atau berlawanan) atau ambiguitas (ketidakpastian) suatu permasalahan yang sedang atau akan dihadapi.
Kemampuan untuk melakukan coping atas kebutuhan konflik dan tanggungjawab merupakan hal yang membedakan perkembangan ego antara saat ia sedang menjadi pecandu atau setelah ia merasa bebas dari kecanduan. Individu yang begitu mandiri mungkin tidak begitu lebih banyak memperoleh konflik daripada individu yang kurang matang egonya, tetapi individu yang menerima konflik lebih banyak justru menggambarkan kelincahan dia dalam menghadapi dan menyiasati lingkungannya Toleransi yang lebih besar dari munculnya ambiguitas akan meningkatkan struktur kognitif yang lebih kompleks dan suatu saat hal itu berfungsi untuk makin memperkuat kerangka kemandirian yang hendak dicapai individu dari ketergantungan obat-obat terlarang dan narkoba. Individu dengan kemandirian yang begitu tinggi akan lebih kuat dalam membina hubungan keterikatan dengan orang lain dimana ia begitu menghargai kemandirian orang lain dalam hubungan keterikatan emosi, afeksi atau konasi seperti itu. Dapat dimaknakan bahwa kemandirian untuk membina keterikatan dengan orang lain merupakan sebuah bukti untuk tidak terlampau bergantung pada hubungan keterikatan itu sendiri melainkan lebih menghargai kemandirian orang didalamnya.
Tahap tertinggi yang mungkin bisa dicapai untuk memberi treatment dalam perkembangan ego seorang pecandu adalah identifikasi adanya kemampuan untuk metransendentalkan konflik dalam tahap kemandirian. Adanya peningkatan dalam kualitas kompleksitas struktur kognitif, lebih mementingkan hubungan keterikatan inerpersonal yang bersifat mutualisma dan menghargai kebebasan dan kemandirian orang lain selama menjalin hubungan keterikatan tersebut. Ia pun mampu mengembangkan diri dimana bisa membedakan dirinya sebagai keutuhan pribadi atau identitas tersendiri dengan tetap menghargai sebuah makna individualitas. Dari sudut pandang Maslow, tahap ini lebih lazim dikenali sebagai tahap aktualisasi diri. Tahap ini adalah hal yang tersukar dan begitu sedikit kemungkinannya untuk bisa diterapkan kepada pecandu narkoba, karena kapasitas kematangan ego sendiri belum jelas batasannya bagi rata-rata pecandu, sehingga untuk membedakan mana yang lebih tinggi kematangan ego individu pecandu pun tidak begitu jelas untuk mengungkapkannya.Kematangan perkembangan ego orang dewasa secara langsung dapat dinyatakan dalam hubungan dengan penyesuaian diri yang bagus (wellbeing) dalam menyiasati problem-problem lingkungan sekitarnya. Ada baiknya bila mengulas baik-buruknya penyesuaian diri (adjustment) seorang pecandu lebih didasarkan atas patokan-patokan normatif yang lebih bersifat umum dan luas dari sisi sosial. Namun yang terpenting adalah mengevaluasi kembali penyesuaian diri (adjustment) kelompok pecandu secara periodik berdasarkan perkembangan ego functioning yang lebih diarahkan dengan kuat lemahnya kesadaran diri dan untuk menjadi makin konformis (conscientious & conformist) dalam norma sosial masyarakat yang lebih luas dan umum, namun sederhana untuk dipahami dan diaplikasikan.

Fungsi Keluarga sebagai Variabel Intervensi.
Apabila remaja telah memiliki rasa percaya bahwa orangtuanya akan memberi support maka individu yang bersangkutan akan mencapai suatu kondisi perasaan bahwa ia mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan; baik dari segi fisik, emosi dan afeksional serta konseptual. Selanjutnya, kondisi perasaan demikian akan terus berkembang dalam berbagai pengalaman hidup sepanjang waktu dalam rentang kehidupan remaja. Berangkat dari berbagai pengalaman kehidupannya yang selalu memperoleh perasaan nyaman dan tenang atas segala kemungkinan kesulitan hidup karena selalu percaya adanya support orangtua, membuat remaja mampu untuk membangun identitas egonya dengan fokus future orientation. Selama remaja berinteraksi bersama dengan orangtuanya, seluruh pengalaman hidup diri individu yang dimulai sejak masa kanak-kanak sampai memasuki tahap masa remaja akan memperoleh peluang yang lebih besar dan lebih baik secara kualitatif untuk diinternalisasikan ke dalam pribadi remaja.
Hasil dari internalisasi tersebut adalah persepsi remaja tentang nilai, norma dan perilaku figur orangtuanya selama memberikan support kepada dirinya. Oleh karena itu, percaya adanya support orangtua yang dikemukakan oleh Marcia menjadi sangat penting untuk dipersepsikan dalam alam pemikiran remaja; mengingat bahwa support orangtua adalah social support yang pertama dan utama. Sebab dengan adanya persepsi remaja atas support orangtua, maka individu yang bersangkutan akan mendapatkan rasa aman. Dengan adanya rasa aman maka remaja menjadi lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, terhadap berbagai bentuk self yang dapat dicapai sebagai substitusi figur pecandu narkoba. Apabila ia mampu memahami dan menghayati kelemahan dan keunggulan atas ability, potency dan competency dirinya, maka ia pun relatif lebih mudah untuk menyesuai terhadap kesulitan dan permasalahan yang sedang dan akan dihadapinya kelak.
Dengan kata lain, ia bisa dianggap cukup mampu menghadapi tantangan krisis identitas yang kemungkinan bisa menimpa dirinya di waktu-waktu mendatang. Oleh karenanya diharapkan pecandu bisa bertindak realistis dan layak untuk menetapkan self nya sesuai dengan keunikan-keunikan yang dimilikinya. Ia mampu membedakan pribadinya dengan orang lain serta diterima oleh pandangan sosiobudaya serta memenuhi harapan dan tuntutan lingkup masyarakat tempat remaja dibesarkan.Tidak selamanya sebuah support orangtua dapat diandalkan dalam memberi kontribuasi yang positif maupun konstruktif terhadap pembentukan identitas remaja. Sebab support orangtua merupakan bagian terbesar dari sebuah sistem dan mekanisme social support secara keseluruhan. Sementara itu, orangtua sebagai figur otoritas keluarga juga menerima tekanan dan tuntutan pula dari kelompok masyarakatnya; mengingat keluarga adalah masyarakat terkecil dan bagian terkecil dari sebuah masyarakat universal.
Sebagai sebuah masyarakat terkecil, sebuah figur otoritas keluarga yakni orangtua akan mengembangkan dan memberlakukan tersendiri norma dan nilai keluarga atas anggota-anggotanya. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Bagaimanapun juga, lingkungan masyarakat yang paling dominan adalah sebuah keluarga tempat anak remaja merasa memiliki keterikatan yang kuat dari aspek emosi, afektif, kognitif dan konatif.

DESAIN INTERVENSI
Batasan Operasionalisasi.
Fakta-fakta telah menunjukkan bahwa narkoba merupakan penyakit kronis yang kemungkinan kambuhnya sangat besar meski telah diupayakan pengobatan terhadapnya. Sekitar 70% dari pecandu narkoba adalah siswa sekolah yang berusia antara 15-25 tahun. Berdasarkan dari data-data yang berhasil dihimpun dari guru-guru peserta penataran Guru Pembina OSIS yang diadakan oleh Direktorat Pembinaan Kesiswaan Dikdasmen pada Agustus 2000 tahun lalu, menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba sudah ditemukan di seluruh Propinsi di Indonesia. Data tersebut makin menegaskan bahwa keterlibatan siswa sekolah menjadi bertambah dominan dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Diyakini ada kejadian ironis antara upaya penanggulangan narkoba secara nasional dan jumlah pemakai atau penyalahgunaan narkoba yang justru meningkat dan diduga karena proses edukatif kampanye narkoba yang justru memicu anak sekolah untuk bereksplorasi terhadap narkoba tanpa dasar kontrol diri yang memadai.Berhenti memakai narkoba adalah sebuah tindakan yang relatif sulit dihentikan karena dalam diri pemakai terjadi perubahan gangguan seperti perasaan, kesadaran, pola pikir, perilaku yang berbeda dengan nilai umum sosial kemasyarakatan yang berlaku.
Pecandu narkoba rata-rata akan mengalami intoksikasi yakni terjadinya kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan narkoba secara rutin sehingga terjadi gangguan kesadaran fungsi kognitif, persepsi, emosi dan respon fisiologis lainnya yang dapat dikenali dari perilaku tak terkontrol. Penyembuhan korban ketergantungan narkoba merupakan masalah pelik karena mengandung kemungkinan kambuh yang cukup besar. Tingkat relaps (kembali menjadi penderita ketergantungan narkoba) sangat tinggi; yakni mencapai 90%. Kekambuhan tertinggi, rata-rata dalam waktu 90 hari setelah detoksifikasi dan umumnya 65-70% penderita akan kecanduan narkoba lagi pada pada tahun pertama pengobatan atau menjalani program rehabilitasi.Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa penanggulangan masalah narkoba tidak hanya cukup dengan mengandalkan aspek kontribusi medis dan perangkat hukum, melainkan sangat diperlukan adanya upaya terpadu dan koordinasi lintas sektoral antara lembaga sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan institusi kepemerintahan. Sikap keras dan punitif dari sisi hukum hendaknya dapat dikompensasikan dengan kontribusi medis, baik rehabilitasi secara fisiologis maupun psikologis. Salah satu aspek psikososial yang memberi kontribusi pada terjadinya penyalahgunaan narkoba adalah faktor kondisi keluarga, lebih tepatnya terjadinya degradasi fungsi keluarga. Ketahanan keluarga bisa dijadikan faktor penentu dalam mereduksi penyalahgunaan narkoba. Selain itu, penekanan fungsi dan peran sekolah tetap difokuskan lebih mendalam pada masalah pencegahan, mengingat bahwa keterlibatan siswa sekolah dalam kasus narkoba kian bertambah besar jumlahnya.
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, intervensi sosial yang dirancang untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba di sini lebih difokuskan pada batas operasionalisasi program-program promotif, preventif dan implementatif yang bersifat psikososial di lingkup sekolah dan keluarga. Program promotif dalam intervensi demikian berupa suatu propaganda antinarkoba yang secara strategis harus melibatkan pihak keluarga, sekolah, institusi kepemerintahan terkait serta organisasi sosial kemasyarakatan, baik formal maupun nonfomal. Program promotif ini bertujuan untuk memberi informasi secara terbuka tentang substansi narkoba dan bahaya yang dapat ditimbulkannya secara komprehensif agar semua pihak bisa memperoleh wacana tentang narkoba selengkap-lengkapnya. Kampanye edukatif dalam program intervensi demikian harus melibatkan berbagai pakar yang membidangi masalah tersebut sehingga wacana tentang narkoba dapat dipahami secara multidimensi.Substansi program promotif dapat berisi wacana tentang berbagai studi dan hasil penelitian ilmiah tentang jenis-jenis narkoba lengkap dengan efek yang dapat ditimbulkan, jenis-jenis bahaya penyalahgunaannya, data-data temuan dari RSKO atau panti rehabilitatif, gejala-gejala intoksikasi yang berhubungan dengan perubahan biokimia otak, overdosis dan cara penanggulangan pertama, karakteristik degradasi fungsi keluarga dan peran orangtua, pengenalan dan pengetahuan terhadap unit-unit posko narkoba, pengenalan narkoba dari aspek hukum maupun ekonomi, dampak infeksi penyakit yang ditimbulkan, dampak gangguan jiwa serta hal-hal praktis yang harus dilakukan jika menghadapi atau mengalami kasus narkoba.
Sementara itu program preventif dilakukan dengan membentuk jaringan multilevel antinarkoba dalam suatu gugus kendali yang tidak saja melibatkan institusi formal, namun juga memiliki aspek pemberdayaan kontrol sosial dalam segenap lapisan masyarakat. Secara kongkritnya, program preventif demikian dilakukan dengan membentuk satgas atau satkorlak antinarkoba yang keberadaannya dibawah koordinasi dan komando institusi formal kepemerintahan atau kemasyarakatan. Satgas atau satkorlak itu dapat berupa gugus kendali yang membentuk jaringan ke sekolah-sekolah atau kampus semacam PMR atau OSIS serta ke kampung-kampung semacam pemberdayaan karang taruna atau LKMD dengan pusat koordinasi tingkat kantor kecamatan. Untuk institusi kepemerintahan jaringan gugus kendali itu di bawah komando dan pengawasan bersama seperti Depdikbud atau Depag tingkat kantor kecamatan, Puskesmas atau RSU dan Polsek; sedangkan institusi formal kemasyarakatan dibawah koordinasi Pembantu Camat, Lurah atau Kepala Desa serta melibatkan Dewan Religi seperti Dewan Gereja atau Dewan Masjid tingkat kecamatan.
Jaring gugus kendali terendah berada pada tingkat sekolah atau kampus, yakni siswa itu sendiri atau mahasiswa, sementara untuk tingkat non formal jaring terendah pada tingkat RT.Tugas satgas demikian adalah mendistribusikan program promotif yang terstruktur baku dan distandardisasikan substansinya, mengimplementasikan kegiatan periodik dari propaganda, melakukan pendataan kasus-kasus narkoba, mengidentifikasi pelaku narkoba, melakukan survey sosial atas kelemahan sistem dan aplikasi propaganda antinarkoba secara periodik dimulai dari unit gugus jaring terkecil.

Target SpesifikP
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu kondisi yang bisa dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa, sehingga penyalahguna seperti pemakai dan pecandu tidak mampu lagi berperan wajar mengikuti nilai dan norma perilaku dalam masyarakat. Kondisi ini terlihat pada makin melemahnya fungsi sosial, pekerjaan, sekolah dan ketidakmampuan mengendalikan diri dalam mengkonsumsi narkoba. Penderitaan dan kerusakan akibat penyalahgunaan narkoba berdampak luas, tidak hanya akan mengganggu diri pemakai atau pecandu tetapi juga menimpa keluarga dan masyarakat sekitarnya yang pada gilirannya bisa mengganggu lingkungan.Kondisi keluarga yang memiliki resiko tinggi menjadi pendorong penyalahgunaan narkoba, diantaranya adalah kematian orangtua, perceraian, kurang harmonisnya hubungan orangtua, komunikasi yang buruk antara anak dengan orangtua, rumah tangga selalu diwarnai ketegangan emosi, suasana keluarga tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi anggotanya, orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah serta adanya kelainan kepribadian orangtua.
Dari sektor keluarga, target spesifik yang diharapkan adalah bahwa upaya penanganan narkoba harus bermuara pada satu hasil, yakni menciptakan kondisi sehat dan kondusif yang memungkinan anak remaja bisa berkembang secara optimal. Oleh karena itu pendekatan persuasif, edukatif dan psikologis dalam keluarga merupakan sebuah parameter untuk mengidentifikasi besar kecilnya peluang kasus narkoba menyusup dalam sebuah kehidupan keluarga. Sementara program promotif bersifat memberi sugesti dan melakukan kontrol sosial serta memantapkan fungsi keluarga dengan menunjukkan bahwa mereka sebagai sebuah keluarga tidaklah sendiri dan dapat berbagi masalah dengan lingkungan sosial terdekatnya.Adapun populasi sasaran untuk program intervensi ini adalah daerah rawan narkoba berdasar data dari Kepolisian, Kejari, RSKO atau UGD RSU, Depdikbud untuk tiap-tiap kecamatan. Preliminary study dalam intervensi ini memfokuskan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bandung sebagai populasi sasaran prioritas pertama. Target sasaran adalah kelompok anak remaja dengan rentang usia 15-25 dengan operasionalisasi satuan gugus kendali formal untuk target siswa sekolah dan mahasiswa dan satuan gugus kendali non formal untuk target anak remaja yang tidak bersekolah.
Sasaran untuk program pembinaan kesiswaan mencakup SD, SMP, SMU dan SMK di bawah Depdiknas cq. Dikdasmen serta MI, MTS, MA dibawah Depag dan Perguruan Tinggi di bawah koordinasi Dikti.Dalam satuan gugus kendali dibentuk sejumlah kader penggerak sesuai kebutuhan dalam operasi unit dengan parameter prioritas titik rawan narkoba dan rentang kendali antara jumlah anggota gugus dengan banyaknya satuan gugus kendali. Misalnya kader penggerak dalam satuan gugus kendali ditentukan dengan perhitungan populasi jumlah per 100 kepala keluarga untuk tingkat non formal kemasyarakatan, sementara untuk tingkat formal sekolah dan kampus dengan jumlah per 100 siswa atau mahasiswa. Tugas kader penggerak bersifat fungsional, yakni memotivasi anggota satuan gugus kendali untuk terlibat dalam setiap event program intervensi, membuat catatan kemajuan aktivitas kelompok gugus kendali dan melaporkannya ke unit koordinasi dan unit operasi. Yang perlu diperhatikan bahwa setiap satuan gugus kendali harus memperoleh sekurang-kurangnya tiga buah catatan kemajuan dari masing-masing kader penggerak yang berlainan.
Oleh karena itu infrastruktur semacam intra network communication mutlak diperlukan dalam kegiatan intervensi demikian yang menginduk pada database komisariat. Untuk efisiensi waktu dan biaya dapat dipergunakan jaringan situs web atau portal swasta dalam bentuk electronics mail; namun untuk tahap selanjutnya dalam tahun program berjalan perlu dibuat tersendiri situs web anti narkoba; sekaligus sebagai fungsi promotif dan propaganda ke masyarakat elektronik yang memerlukan dan belum tersentuh program demikian. .Sosialisasi program intervensi pada tahap pertama ini masih bersifat promotif, yakni mempublikasikannya ke khalayak umum dengan menggandeng sejumlah perusahaan atau BUMN dengan maksud memperoleh simpati masyarakat dan dukungan moral atau mengetahui tanggapan masyarakat yang lebih luas. Hal demikian ditujukan untuk memperoleh ancangan dalam menyusun cara atas program intervensi yang lebih efektif dalam operasionalisasinya dengan parameter sambutan positif masyarakat yang lebih kuat dan dukungan maupun keterlibatan massa yang lebih besar. Jika program intervensi telah dievaluasi ulang serta cukup memberi bukti atas penguatan kepedulian sosial yang lebih tinggi dan sambutan positif yang lebih kuat, maka program intervensi tahap I mulai dilaksanakan dengan sasaran pertama adalah daerah yang dianggap paling rawan narkoba berdasar identifikasi yang telah dilakukan oleh komisi inti dan komisi pakar serta temuan terbaru unit koordinasi dan unit operasi di lapangan pasca evaluasi.
RANGKUMAN
Suatu ketergantungan narkoba dipandang sebagai sebuah proses disadari atau tidak disadari yang berjalan cukup lama dan bermula saat mereka memasuki masa transisi dalam tahap-tahap perkembangan menuju manusia dewasa. Di masa transisi ini, kebutuhan individu akan berubah-ubah sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang harus dicapai saat itu. Suatu keluarga, orangtua atau orang dewasa didalamnya; merupakan sebuah lingkungan utama dan pertama yang memberi kontribusi positif atau negatif dalam masa transisi tersebut. Akan tetapi melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat universal, maka norma dan nilai keluarga tersebut akan menerima intervensi dan konfrontasi dari nilai, norma dan sistem keyakinan kelompok sosial masyarakat yang lebih besar dan memiliki kriteria sosiobudaya yang khas pula. Disinilah perlunya sebuah intervensi sosial terhadap pecandu narkoba maupun untuk mengantisipasi keterlibatan narkoba dari anak remaja harus benar-benar memperhitungkan aspek nilai, norma dan keyakinan tradisional masyarakat tempat anak remaja berasal.Pribadi – self, baik kelompok pecandu narkoba ataupun bukan, secara optimal selama program intervensi diharapkan dapat membangkitkan pembentukan keseimbangan baru dalam kebersamaan hidup dengan lingkungan yang didalamnya mencakup tiga karakteristik yakni: kepastian rasa aman, keleluasaan bertindak dan memelihara kondisi kehidupan lingkungannya.
Trust disini sangat penting bagi dirinya – self; karena tanpa trust, pecandu justru dapat menganggap bahwa program intervensi adalah suatu kekuatan musuh; dan dasar-dasar untuk memperoleh hal itu adalah dengan adanya kesempatan, tindakan eksploitatif, perlindungan diri selama program dilaksanakan. Untuk mencapai konformis, aturan normatif kelompok dalam program intervensi disetting melalui satuan gugus kendali untuk menumbuhkan penghayatan rasa takut adanya penolakan dari kelompok yang lebih luas (kemasyarakatan) sehingga keinginan untuk mencapai penerimaan sosial menjadikan dirinya mau mengendalikan impuls-impulsnya yang tersugesti oleh narkoba.Suatu intervensi sosial yang digunakan dalam kasus narkoba haruslah mengetahui sejauhmana seorang individu dapat mencapai keseimbangan pembentukan makna, apakah terlihat kontradiksi antara suatu waktu yang tepat dengan tindakan yang sepantasnya serta melihat bagaimana pemeliharaan kondisi lingkungan tempat ia hidup agar proses pembentukan makna tersebut terjadi secara optimal. Konsentrasi dari program intervensi ini merupakan serangkaian cara yang efektif dan ilmiah untuk melakukan penetrasi informasi yang kongkrit tentang upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah narkoba melalui fungsi keluarga dan sekolah dengan tujuan menumbuhkan self motivated setiap pribadi dalam mengantisipasi permasalahan bahaya narkoba dengan mengutamakan prinsip-prinsip moral dan etika secara normatif. Hasil nyata yang diharapkan adalah terbukanya wawasan pengetahuan secara kognitif tentang permasalahan bahaya narkoba secara kongkrit dan mendetail yang dapat mempengaruhi aspek afeksi, emosi dan afiliasi terhadap pelaku, pemakai, pecandu maupun bukan pecandu narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Sally L. 1994. Interventions for Adolescent Identity Development. A Sage Focus Edition, USA
Coleman J., et. al. 1984. Abnormal Psychology and Modern Life (7th ed.). Foresman USA
Deaux, K., Lawrence S. Wrigthsman. 1988. Social Psychology. Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, California
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psychology. A Life Span Approach. 5th ed. Tata McGraw Hill Inc., New Delhi
Ingersoll, Gary M. 1989. Adolescents. 2th. Ed. Prentice Hall Inc., A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs, New Jersey
Kroger, Jane. 1997. Identity in Adolescence. The Balance between Self and Other. 2th ed. Adolescence and Society Series. Routledge, New York, USA
Marcia, James E. et. al., 1993. Ego Identity. A Handbook for Psychosocial Research Springer Verlag New York Inc., USA
Steinberg, L. 1993. Adolescence.International Edition. 3th. Ed. McGraw Hill Inc., New York, USA
Schaefer, Charles E., Howard L. Millman. 1981. How to Help Children With Common Problems. Van Nostrand Reinhold Co., Inc., New York, USA
Woolfolk, A E. 1998. Educational Psychology. 7th. Ed. Allyn and Bacon, USA
Sumber Data
Kompas, harian umum, 11 Desember 1999
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 10 Desember 2001
Media Indonesia, harian umum, 1 Nopember 2000
_________________, 21 April 2001
_________________, 11 Februari 2000
_________________, 5 Agustus 2000
_________________, 30 Oktober 2001
_________________, 4 September 2000
_________________, 18 Agustus 1999
Pikiran Rakyat, harian umum, 27 Desember 2001
Republika, harian umum, 27 Juni 2001
_________________, 13 Mei 2000
_________________, 8 Januari 2001

Jumat, 12 Maret 2010

KONSULTAN PSIKOLOGI, TRAINING & MANAJEMEN

Salah satu upaya Manajemen SDM & Organisasi adalah melakukan pemetaan kompetensi SDM guna memperoleh pegawai yang dapat diandalkan. Pemetaan kompetensi (Competency Mapping) merupakan inventarisasi sejumlah potensi SDM yang mencakup skill, dasar kecakapan umum, bakat kerja, minat dan kemampuan dari seluruh pegawai agar memperoleh individu yang benar-benar cocok dan tepat guna mengemban dan melaksanakan tugas. Pemetaan kompetensi dapat mencakup aktivitas yang berupa rekrutmen, seleksi, promosi untuk tujuan pengangkatan status pegawai; atau demosi, mutasi, rotasi dan terminasi.
Melalui Pemetaan Kompetensi, Manajemen SDM dan Organisasi mampu bertindak lebih terbuka serta tidak diskriminatif dalam mendapatkan tenaga SDM yang handal guna mengoptimalisasikan prestasi kerja menurut karakteristik pekerjaan. Dengan demikian keunikan tiap tugas yang diemban oleh sumber daya manusia diharapkan mampu memperlihatkan prestasi dan kinerja yang lebih optimal, efektif dan efisien. Media Duta Manggala Bandung mengembangkan program pengelolaan dan pemberdayaan SDM secara terintegrasi Personal Assessment (Psikotest) & Training untuk menjawab permasalahan yang dihadapi setiap organisasi.
Personal Assessment
Merupakan salah satu kegiatan evaluasi psikologi yang bertujuan menggali potensi SDM secara individual dalam kaitannya dengan pekerjaan. Melalui jasa ini dapat diperoleh gambaran secara khusus tentang kelebihan/kekuatan maupun kelemahan SDM. Data psikologis yang diperoleh akan sangat besar manfaatnya guna menunjang efektivitas penempatan, mutasi, pelatihan dan pengembangan, serta penentuan jenjang karir. Secara garis besar, Pemetaan kompetensi melalui Personal Assessment (psikotes) akan mengeksplorasi kepribadian meliputi lima aspek utama:
Ø Fungsi Kecerdasan (Kognisi)
Ø Fungsi Sikap Kerja (Motivasi & Prestasi)
Ø Fungsi Emosi
Ø Fungsi Interaksi
Ø Kepemimpinan
Tujuan
1. Memperoleh tenaga kerja yang berpotensi tinggi dan dapat diandalkan
2. Memilih dan memilah tenaga kerja yang berpotensi tinggi secara bergradasi
3. Memperoleh tenaga kerja berpotensi tinggi yang berkarakteristik relatif sama dengan karakteristik posisi jabatan

Kegunaan
1. Memperoleh gambaran kekuatan SDM dalam organisasi perusahaan baik secara individual, kelompok, sektoral maupun keseluruhan
2. Merupakan kerangka acuan untuk membuat konstelasi formasi SDM yang kohesif, sinergi dan andal
3. Memperoleh informasi tentang karakteristik potensial tiap-tiap SDM
4. Sebagai informasi untuk memprediksikan & memproyeksikan potensi SDM dimasa mendatang

Sasaran
1. Pegawai setingkat pesuruh/kurir/upas (setara SD – SMP)
2. Pegawai setingkat pelaksana/operator (setingkat SMA, STM, SMEA, SMK)
3. Pegawai setingkat pekerja/analis (setingkat D1-D3)
4. Pegawai setingkat Penyelia/Supervisor (setingkat S1 atau D3 pengalaman)
5. Pegawai karakteristik staff
6. Pegawai setingkat pejabat fungsional
7. Pegawai setingkat pejabat struktural

Arah
1. Calon bidang operasional administratif
2. Calon bidang operasional layanan
3. Calon bidang operasional peralatan
4. Tenaga manajemen operasional
5. Tenaga manajemen perencana
6. Tenaga manajemen pengambil keputusan

Standar Prosedur 100 peserta (Model SA 100)
Struktur organisasi telah membakukan legalitas posisi jabatan
1. Persiapan
a. Pendataan
b. Kategorisasi
c. Analisis Kriteria
2. Pelaksanaan
a. Penyiapan materi, tempat, waktu dan assesor
b. Pelaksanaan assessment dipandu minimal 2 Psikolog
c. Skoring
d. Pengolahan Data & Analisa
e. Psikodiagnosis
f. Rekapitulasi, rangking dan koreksi
g. Kaji Ulang & Diskusi
h. Penyusunan Laporan
3. Penyelesaian
a. Penyerahan Laporan
b. Diskusi, Umpanbalik & Sumbang Saran

Standar Prosedur 100 peserta (Model SB 100)
Belum ada legalitas posisi jabatan dalam struktur organisasi
1. Persiapan
a. Pendataan
b. Klarifikasi
c. Observasi Kriteria
2. Pelaksanaan
a. Penyiapan materi, tempat, waktu dan assesor
b. Pelaksanaan assessment dipandu minimal 2 Psikolog
c. Skoring & Pembobotan
d. Pengolahan Data & Standarisasi
e. Psikodiagnosis
f. Rekapitulasi & Prediksi
g. Kaji Ulang & Diskusi
h. Penyusunan Laporan
3. Penyelesaian
a. Penyerahan Laporan
b. Diskusi, Umpanbalik & Sumbang Saran

Format Laporan, Biaya & Durasi Pemrosesan
Kami mengepankan masalah privasi dan confidentiality pengguna karena pertimbangan diferensiasi pemahaman yang cenderung berbeda untuk tiap unit instansi, institusi atau organisasi, sehingga menawarkan sejumlah akses kemudahan dalam mengkomunikasikan hasil-hasil assessment dalam bentuk variasi format model laporan assessment guna menghindari misperception dan misinterpreted dikalangan pengguna.
Manfaat lain dari pemilihan model laporan adalah berkaitan erat dengan tujuan implementasi assessment dari pengguna termasuk didalamnya masalah efisisensi waktu dan biaya serta efektivitas assessment yang diharapkan pengguna dari segi kepraktisan dan aplikatif. Oleh karena itu, standarisasi format laporan, biaya dan durasi pemrosesan yang telah kami miliki untuk Personal Assessment dengan estimasi 100 peserta adalah sebagai berikut:

1. Model Peringkat
Rp. 115.000/peserta dengan durasi 7 hari efektif kerja/100 peserta
Merupakan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk peringkat atau rangking sekelompok kandidat berkaitan dengan pengukuran kompetensi yang telah dilakukan. Model peringkat memperlihatkan besaran kualifikasi kompetensi antara kandidat dengan posisi yang diperlukan secara kuantitatif dan objektif sehingga peluang kandidat dalam memenuhi kriteria kompetensi posisi jabatan dapat terlihat secara global dari keseluruhan kandidat yang tersedia. Berguna untuk mengambil keputusan yang cepat dalam menentukan kandidat yang paling mendekati indikator kesesuaiannya dengan kompetensi posisi secara general.
2. Model Analisa Faktor
Rp. 165.00/peserta dengan durasi 12 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk uraian singkat pada bobot-bobot potensi psikologi sebagai indikator kunci kriteria sukses dalam memenuhi kualifikasi kompetensi jabatan. Informasi psikologi singkat demikian bermanfaat untuk memperoleh gambaran faktor kepribadian seorang kandidat secara parsial yang dinilai sebagai inti dari kriteria suskes pekerjaan. Sangat berguna apabila populasi kandidat memperlihatkan kesetaraan dalam berbagai kualifikasi kompetensi dalam kriteria sukses pekerjaan.
3. Model Profil
Rp. 225.000/peserta dengan durasi 15 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk profil sehingga dapat diamati dengan mudah kecenderungan kompetensi serta kepribadian kandidat ybs. Walaupun tidak memperlihatkan pembobotan nilai kuantitatif, namun secara jelas akan tergambar “sosok/bentuk/profil” kandidat berkaitan dengan dinamika kompetensi dan kepribadiannya sehingga kompetensi kandidat dapat dengan mudah diperbandingkan dengan sejumlah kandidat lain, baik dari segi kompetensi generik maupun spesifik.
4. Model Psikodiagnostik
Rp. 305.000/peserta dengan durasi 22 hari efektif kerja/100 peserta
Laporan hasil assessment yang disajikan dalam bentuk psikodiagnostik melalui lembar psikogram sehingga secara detail aspek-aspek kompetensi atau faktor psikologis yang diassess terlihat dengan nyata. Dalam psikogram, dilampirkan ulasan singkat tentang dinamika kepribadian kandidat ybs dari sudut pandang individu dalam kaitannya dengan pola perilaku yang rawan maupun potensial untuk mencapai kriteria sukses pekerjaan. Sangat bermanfaat untuk membuat suatu formasi kekuatan SDM dan pengembangannya dalam suatu jalur karir apabila profile jabatan telah tersedia.
5. Model Klinis
Rp. 300.000/peserta dengan durasi 30 hari efektif kerja/100 peserta
Kombinasi & modifikasi data hasil assessment yang lebih berorientasi pada uraian dinamika kepribadian seorang kandidat secara keseluruhan dan mendetail. Ulasan yang disajikan menyangkut kecenderungan, gambaran watak khas, diagnosis simptomatis dan prognosis yang lebih bersifat klinis. Lebih diarahkan untuk tindakan konseling, treatment atau terapi karena sifat assessment yang cenderung kasuistis. Efektif digunakan untuk membantu pegawai atau mahasiswa yang diduga dan diprediksikan mengalami overproblematik, abnormalitas perilaku dan gangguan mentalitas (potensi psikoneurotik).
INFORMASI :
Tika 022-76620480

CONTROVERSIES IN MASS MEDIA

THE GOOD NEWS IS NOT NEWS, THE BAD NEWS IS GOOD TO NEWS
Pemuatan liputan berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh media massa seringkali menimbulkan perdebatan serius yang berkepanjangan. Berita kekerasan yang menjadi topik liputan dan dibeberkan oleh media massa dinilai memberi efek yang cukup signifikans terhadap terbentuknya perilaku kekerasan masyarakat. Sebagaimana diungkap dalam teori desensitization, liputan kekerasan oleh media massa secara luas tidak hanya mendorong individu menjadi tampak berperilaku keras, akan tetapi juga memperlihatkan indikasi bahwa toleransi masyarakat terhadap perilaku antisosial relatif lebih meningkat. Para kritikus media menilai bahwa media massa mempunyai andil atas terjadinya desensistization kekerasan (kurang sensitifnya terhadap kekerasan) dan harus bertanggungjawab untuk hal tersebut. Akan tetapi orang-orang media, khususnya insan film dan televisi, memberi tanggapan bahwa desensitization dapat diatasi apabila media massa justru mengungkap peristiwa kekerasan dengan apa adanya untuk menggambarkan peristiwa yang senyatanya. Mereka menjelaskan bahwa cukup banyak alternatif pemaparan kekerasan oleh media massa, termasuk didalamnya cara pengungkapan kekerasan yang mungkin berbeda dengan kondisi senyatanya, akan tetapi para audiens justru mempertanyakan aktualitas fakta yang sesungguhnya terjadi. Lagi pula, berita kekerasan seringkali ditayangkan dalam bentuk sebuah jeda sekuens ditengah-tengah acara lain, sehingga dapat dianggap sebagai berita sepintas saja.
Tentu saja, para kritikus media menilai tanggapan tersebut kurang memuaskan karena orang-orang media dinilai mendasarkan alternatif penayangan berita kekerasan tidak bertolak dari bagaimana agar pilihan mereka tersebut dapat menurunkan kemungkinan kekerasaan oleh masyarakat. Oleh karena itu liputan kekerasan yang ditayangkan oleh media massa tetap dianggap menjadikan para audiens sebagai korban berita karena mereka dikendalikan oleh media massa untuk menjadi berperilaku keras. Walaupun demikian, para kritikus media menyadari bahwa masalah demikian identik dengan pertanyaan mana yang lebih dahulu terjadi; telur atau ayam; sehingga memandang bahwa media massa tidak berada dalam posisi yang sengaja menggunakan teori desensitization untuk meningkatkan kekerasan dengan tayangan liputan mereka. Akan tetapi para kritikus media tetap menilai bahwa media massa memberikan andil terbentuknya kekerasan dalam masyarakat karena tayangan liputan tersebut mendorong masyarakat menjadi kurang sensitif terhadap kekerasan (desensitization); sehingga menuntut media massa untuk mencari alternatif penayangan berita guna menurunkan tingkat kekerasan oleh masyarakat.
Seorang ahli George Gerbner juga tak luput dari semacam kekhawatiran tentang pemuatan berita kekerasan oleh media massa. Tercatat bahwa dia merupakan seorang ahli yang paling lama melakukan kegiatan penelitian tentang berita kekerasan dalam media massa dibanding dengan para ahli lain. Pada tahun 1967, Gerbner dengan para koleganya dari Universitas Pennsylvania membuat indeks kekerasan yang ditayangkan televisi dan dengan cara demikian ia mulai menghitung tindak kekerasan yang terjadi. Ia melakukan semua kegiatan tersebut hampir selama tiga dekade. Gerbner memperoleh catatan hitungan bahwa anak-anak Amerika dengan usia sekitar 18 tahunan telah melihat 32.000 berita atau adegan pembunuhan serta 40.000 usaha percobaan pembunuhan melalui tayangan televisi dirumah. Masih dengan pandangan yang meragukan, terdapat berita baik dari hasil pengamatan tesebut yang menyatakan bahwa kebanyakan dari mereka juga merasa takut dengan efek pengaruh kekerasan yang disajikan oleh media televisi. Gerbner dengan indeks yang telah dikonstruksinya telah menemukan tidak adanya signifikansi (keberartian) perubahan dalam jumlah kekerasan sejak pertengahan tahun 1970an. Ini barangkali merupakan sebuah hasil penyelidikan yang dapat dianggap lebih dari cukup.
Gerbner kemudian mengajukan sebuah teori bahwa kekerasan dalam media mempunyai efek pengaruh negatif bagi masyarakat, akan tetapi ia menyebutnya sebagai sebuah “sindrom memaknakan dunia”; sehingga lebih bergantung dari sisi orang sebagai audiens yang melihat tayangan kekerasan. Gerbner melihat bahwa orang akan menjadi lebih terekspose dengan kekerasan pada permasalahan cara memandang sebuah dunia sekitar yang dialaminya, yang menempatkan suatu situasi dianggap menjadi lebih berbahaya dari kenyataan situasi sesungguhnya, setelah seringkali melihat tayangan kekerasan. Selain itu, orang pun akan menjadi lebih terbuka untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan diri pribadinya, sehingga menjadi terdorong untuk berkeinginan agar aparat kepolisian mampu menjamin keamanan dan keselamatan pribadinya. Secara tidak disadari, pemikiran kebanyakan orang yang sedemikian rupa membawa konsekuensi bahwa kebebasan dan keterbukaan masyarakat mereka tetap menginginkan sesuatu yang bersifat protektif sehingga secara sekaligus dapat membatasi kebebasan mereka pula. Kisah-kisah sepak terjang aparat kepolisian yang berjuang keras memerangi kejahatan tampaknya kemudian menjadi sebuah nilai yang paling mengemuka dalam gaya hidup Amerika.
Sejumlah konglomerasi perusahaan secara global kemudian menempuh kebijakan untuk menggunakan trend media demikian yang berdasar dari gaya hidup Amerika tersebut dengan tujuan memasarkan produk-produk mereka, baik melalui tayangan program televisi, musik atau mengkreasi adegan film tersendiri. Mereka memandang bahwa kekerasan merupakan sebuah topik yang paling mengemuka, dalam arti sangat populer untuk disukai masyarakat, dan mereka menggunakannya untuk memasarkan produk-produk mereka. Lagi pula, tayangan kekerasan oleh media dianggap hanya memerlukan ongkos produksi yang relatif murah. Gerbner juga menemukan adanya faktor indeks penunjuk yang menyebutkan pemahaman kekerasan dalam suatu medai tanpa perlu mempersoalkan konteks dari isi yang dikomunikasikan oleh media bersangkutan. Film-film seperti putusnya kepala Bugs Bunny diperhitungkan dengan anggapan yang sama sebagai sebuah bentuk adegan kekerasan oleh audiens sebagaimana adegan yang seringkali ditemukan dalam film Rambo. Dengan kata lain, bahwa kualitas isi tayangan film kartun tersebut dianggap memiliki derajat kekerasan yang relatif sama dengan film Rambo pahlawan USA dalam perang Vietnam yang tangguh menghabisi musuh-musuhnya. Demikian pula dengan pelototan mata serta gebukan trio komedi Three Stooges dapat diperhitungkan sebagai sebuah tindakan kekerasan oleh audiens. Dari temuan penyelidikannya Gerbner memperoleh gambaran bahwa terdapat bukti-bukti yang diperlukan untuk membuat titik tolak yang mendasar dalam mengukur sebuah tindakan kekerasan yang ditayangkan oleh media televisi.
Pengamatan Gerbner tampaknya identik dengan teori yang dikemukakan dalam model DeFleur yang melihat sumber (sources), pemancar (transmitter), penerima (receiver), dan sasaran (destination) sebagai fase-fase yang terpisah dalam proses komunikasi massa. Oleh karena itu Source dan transmitter adalah dua fase atau dua fungsi yang berbeda dalam menyatakan makna denotatif dan konotatif (merumuskan makna ke dalam pesan) dan kemudian mengubahnya menjadi peristiwa yang dapat dipersepsi sebagai rangsangan sebagaimana khalayak pada umumnya. Fungsi receiver dalam model DeFleur adalah menerima informasi dan menyandi baik; mengubah peristiwa fisik informasi menjadi pesan (sistem simbol yang signifikans). Menurut DeFleur, komunikasi bukanlah lagi dapat dipandang sebagai pemindahan makna. Karena komunikasi terjadi lewat operasi seperangkat komponen dalam sebuah sistem teoretis, dengan sendirinya memiliki konsekuensi munculnya isomorfism (isomorphism) diantara respon inetrnal (makna) terhadap seperangkat simbol tertentu pada pihak pengirim dan penerima. Isomorfisme makna merujuk pada upaya membuat makna terkoordinasikan antara pengirim dan khalayak, sehingga hasil dari pemaknaan yang terbentuk dengan sendirinya cenderung berubah-ubah. Penjabaran komunikasi secara demikian menunjukkan adanya keserupaan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Tim Buell yang meyakini bahwa media massa, terutama televisi, memberitahu khalayak tidak hanya tentang apa yang mereka pikirkan, akan tetapi juga menitikberatkan pada realitas dengan segala sesuatu hal yang orang lain pikirkan menurut dugaan dan pandangan mereka sendiri.
Hal serupa juga pernah diungkapkan dalam model uses & gratifications yang memperlihatkan bahwa fokus utama permasalahan dalam komunikasi media massa bukanlah pada bagaimana medai mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi pada bagaimana media telah memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi sentral permasalahannya pada bobot khalayak yang aktif dan sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus. Dalam asumsi ini, Blummer hendak mengajukan pengertian yang tersirat bahwa komunikasi massa mempunyai kegunaan (utility), bahwa konsumsi media diarahkan oleh motif secara selektif (selectivity) dan bahwa khalayak sebenarnya kepala batu (stubborn). Penggunaan media massa hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, karena efek media dinilai sebagai situasi ketika kebutuhan itu menjadi terpenuhi. Efek media dapat dioperasionalkan sebagai evaluasi kemampuan medai untuk memberikan kepuasan, sehingga isi media massa memberi efek yang bergantung untuk tujuan informasi dan sebagai pengetahuan, yang keseluruhannya berpulang kepada proses kognitif dan persepsi serta pemaknaan atau isomorfism khalayak sebagaimana telah dijabarkan dalam konsep model komunikasi DeFleur.

PERSONAL ASSESSMENT

Personal Assessment
Merupakan salah satu kegiatan evaluasi psikologi yang bertujuan menggali potensi SDM secara individual dalam kaitannya dengan pekerjaan. Melalui jasa ini dapat diperoleh gambaran secara khusus tentang kelebihan/ kekuatan maupun kelemahan SDM. Data psikologis yang diperoleh akan sangat besar manfaatnya guna menunjang efektivitas penempatan, mutasi, pelatihan dan pengembangan, serta penentuan jenjang karir. Secara garis besar, Pemetaan kompetensi melalui Personal Assessment ( psikotes) akan mengeksplorasi kepribadian meliputi lima aspek utama:
Ø Fungsi Kecerdasan ( Kognisi)
Ø Fungsi Sikap Kerja ( Motivasi & Prestasi)
Ø Fungsi EmosiØ Fungsi Interaksi
Ø Kepemimpinan

Tujuan
1. Memperoleh tenaga kerja yang berpotensi tinggi dan dapat diandalkan
2. Memilih dan memilah tenaga kerja yang berpotensi tinggi secara bergradasi
3. Memperoleh tenaga kerja berpotensi tinggi yang berkarakteristik relatif sama dengan karakteristik posisi jabatan

Kegunaan
1. Memperoleh gambaran kekuatan SDM dalam organisasi perusahaan baik secara individual, kelompok, sektoral maupun keseluruhan
2. Merupakan kerangka acuan untuk membuat konstelasi formasi SDM yang kohesif, sinergi dan andal
3. Memperoleh informasi tentang karakteristik potensial tiap-tiap SDM
4. Sebagai informasi untuk memprediksikan & memproyeksikan potensi SDM dimasa mendatang

Sasaran
1. Pegawai setingkat pesuruh/ kurir/ upas ( setara SD – SMP)
2. Pegawai setingkat pelaksana/ operator ( setingkat SMA, STM, SMEA, SMK)
3. Pegawai setingkat pekerja/ analis ( setingkat D1-D3)
4. Pegawai setingkat Penyelia/ Supervisor ( setingkat S1 atau D3 pengalaman)
5. Pegawai karakteristik staff
6. Pegawai setingkat pejabat fungsional
7. Pegawai setingkat pejabat struktural

Arah
1. Calon bidang operasional administratif
2. Calon bidang operasional layanan
3. Calon bidang operasional peralatan
4. Tenaga manajemen operasional
5. Tenaga manajemen perencana
6. Tenaga manajemen pengambil keputusan